Sejarah Kiswah Ka’bah: dari Kulit, Kain Merah, Putih, hingga Sutra Hitam
Jumat, 24 Juli 2020
Kiswah atau kain hitam yang menyelimuti Ka’bah mengalami perubahan seiring dengan perkembangan zaman. Perubahan itu tidak hanya dari segi jenis kain dan warna kiswah saja, tetapi juga dari segi siapa yang ‘bertanggung jawab’ untuk menyediakannya, ornamen-ornamen yang menghiasinya, dan waktu pergantiannya.
Hingga akhirnya akhirnya seperti saat ini, di mana kain kiswah Ka’bah adalah sutra hitam, diprodukis oleh sebuah pabrik khusus yang didirikan oleh otoritas Arab Saudi, dan diganti dengan kain baru setahun sekali setia tanggal 9 Dzulhijjah.
Ada banyak pendapat mengenai siapa yang pertama kali menutup Ka’bah dengan kiswah, mulai dari Nabi Ismail AS hingga Adnan bin Udd buyut Nabi Muhammad. Kendati demikian, catatan sejarah yang valid menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menyelimuti Ka’bah dengan kain adalah Raja Dinasti Himyariyah Yaman, Abu Karb As’ad.
Mengutip Ali Husni al-Kharbutli dalam Sejarah Ka’bah (2013), suatu ketika As’ad bermimpi bahwa dirinya menutupi Ka’bah dengan kain. Lalu, dia kemudian menunaikan mimpinya itu ketika melintasi Makkah setelah dirinya pulang dari sebuah peperangan di Yatsrib pada 220 sebelum Hijriyah. Pada awalnya, As’ad menutup Ka’bah dengan kulit dan kain kasar (khasf).
Riwayat lain mengatakan bahwa saat itu As’ad menutupi Ka’bah dengan daun kurma dan melapisinya dengan bunga Ma’afir yang begitu wangi. Namun karena khawatir kiswah tersebut akan membebani bangunan Ka’bah, maka dia menggantinya dengan kain yang dijahit dari Yaman (al-mala wal washa’il).
Pada tahun-tahun berikutnya, orang-orang berbondong-bondong menghadiahi Ka’bah dengan kain. Dari kain itu kiswah Ka’bah diambil. Jika satu kain rusak, maka diganti dengan yang lainnya. Mereka menganggap, memasang kiswah sebagai tugas agama dan kehormatan besar.
Kebijakan terkait kiswah Ka’bah berubah ketika Qushay bin Kilab, buyut Nabi Muhammad, memimpin. Qushay meminta setiap suku sejumlah uang untuk membeli kiswah Ka’bah setiap tahunnya. Kebijakan ini kemudian dilanjutkan oleh anak-cucunya.
Adapun orang yang pertama kali menutup Ka’bah dengan kain berbahan sutra adalah Khalid bin Ja’far bin Kilab. Sementara Natilah binti Janab, ibunda Abbas bin Abdul Muthalib, mengutip Muhammad Abdul Hamid al-Syarqawi dan Muhammad Raja’I ath-Thahlawi dalam Ka’bah: Rahasia Kiblat Dunia (2009), adalah perempuan pertama yang membuat dan menyelimuti Ka’bah dengan sutra. Ketika itu, Abbas tersesat dan Natilah bernazar jika anaknya diketemukan maka dia akan menutup Ka’bah dengan sutra.
Nabi Muhammad adalah orang pertama yang menutupi Ka’bah dengan qabhati (kain putih yang dibuat di Mesir). Saat Fathu Makkah (pembebasan Kota Makkah), Nabi Muhammad tetap mempertahankan kiswah lama yang digunakan pada zaman Jahiliyah.
Hingga seorang wanita membakarnya ketika mencoba mengharuminya dengan dupa. Maka setelah itu Ka’bah ditutup dengan kain dari Yaman bergaris putih dan merah (burud). Khalifah Umar bin Khattab dan Khalifah Ustaman bin Affan menyelimuti Ka’bah dengan kain putih, dan Abdullah bin Zubair menutupnya dengan brokat merah.
Pada era Dinasti Umayyah, kain kiswah yang baru diletakkan di atas kain yang lama sehingga menumpuk. Praktik semacam ini terus berlangsung hingga periode Khalifah al-Mahdi dari Dinasti Abbasiyah. Karena khawatir kain-kain tersebut akan membebani bangunan Ka’bah, al-Mahdi kemudian memerintahkan untuk melepaskan kain-kain kiswah yang lama dan menggantikannya dengan yang baru setiap tahunnya.
Kebijakan perihal kiswah Ka’bah berubah lagi ketika al-Makmun dari Dinasti Abbasiyah memimpin. Berbeda dengaan sebelum-sebelumnya, dia mengganti kiswah Ka’bah tiga kali selama satu tahun dengan jenis kain dan warna yang berbeda; sutra merah pada hari tarwiyah, kain qabathi pada awal Rajab, dan sutra putih pada hari ke-27 Ramadhan.
Khalifah al-Nassir dari Dinasti Abbasiyah pernah mengubah warna kain kiswah menjadi hijau. Namun pada masa-masa akhir, khalifah Dinasti Abbasiyah memilih sutra berwarna hitam sebagai kiswah karena itu awet dan tahan lama. Sementara itu, Sultan Dinasti Seljuk pernah.
Pembuatan dan penggantian kiswah kemudian dilakukan oleh penguasa Mesir, setelah Dinasti Abbasiyah mulai melemah. Sebetulnya Mesir mendapatkan kehormatan untuk membuat kiswah sejak Khalifah Umar bin Khattab. Selama menjadi khalifah, Umar bin Khattab setiap tahun mengirim surat kepada Gubernur Mesir untuk membuat kiswah Ka’bah qabathi. Seiring dengan berpindah-pindahnya ibu kota Mesir, maka tempat pembuatan kiswah pun semakin bertambah. Ada Kota Fayum, Tanis, dan Kairo (distrik Kharnafasy).
Seorang Khalifah Dinasti Fatimiyyah Mesir, al-Muiz li Dinilillah, pada 362 H (972 M) memerintahkan untuk mendirikan tempat khusus pembuatan kiswah di distrik Kharnafasy, Kairo. Dia ingin kiswah yang dibuat lebih baik dari yang sebelum-sebelumnya. Maka kiswah itu kemudian dibuat dari sutra merah selebar 144 jengkal, 12 pita emas setiap sisinya, dan masing-masing pita dihiasi hiasan buah utrujah dari emas dan 50 permata sebesar telur burung dara.
Ditambah, permata-permata mahal, minyak wangi kasturi, dan tulisan kaligrafi ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan haji. Biaya yang dikeluarkan untuk membuat kiswah cukup besar. Pada awal abad 20 saja, anggaran pembuatan kiswah mencapai 4.550 pound.
Kiswah yang sudah jadi itu lalu diserahkan kepada Bani Syaibah, yang bertanggungjawab terhadap pengurusan Ka’bah. Bani Syaibah kemudian memasangkan kain kiswah yang baru ke Ka’bah dan menjual kain kiswah yang lama kepada jamaah haji sebagai berkah. Namun dikemudian hari, hal itu tidak diperbolehkan lagi oleh otoritas Saudi karena dianggap syirik. Karena itu, akhirnya kain kiswah yang lama disimpan di museum.
Pada 1924, suplai kiswah Ka’bah dari Mesir dihentikan. Raja Abdul Aziz dari Dinasti Saud mengambil alih pembuatan kiswah. Menurut Zainurrofieq dalam The Power of Ka’bah: Mengungkap Keagungan Baitullah (2016), Raja Abdul Aziz memerintahkan untuk membangun pabrik pembuatan kiswah di Ajyad sebuah daerah dekat Masjidil Haram. Di sinilah kiswa pertama di era Kerajaan Saudi diproduksi di Makkah, yaitu pada 1926. Produksi kiswah kemudian dipindah ke Umm al-Joud.
Pada 1935, pemerintah Mesir dan Arab Saudi membuat perjanjian terkait dengan produksi kiswah. Sejak saat itu hingga 1963, produksi Ka’bah dilakukan di Mesir. Baru setelahnya, Arab Saudi membangun kembali pabrik kiswahnya. Pada 1972, Fahd bin Abdul Aziz yang saat itu menduduki posisi Wakil Ketua Majelis Kabinet dan Menteri Dalam Negeri Saudi di pemerintahan Raja Faisal- meletakkan batu pertama pabrik kiswah di pinggiran Kota Makkah.
Pabrik yang dibangun di atas lahan seluas 10 hektare itu diresmikan pada 1977 atau masa pemerintahan Raja Khalid. Lebih dari 240 orang dipekerjakan di pabrik kiswah ini. Berbeda dengan pabrik kiswah era Raja Abdul Aziz, pabrik yang dibangun Fahd ini dilengkapi dengan peralatan canggih dan modern. Tidak hanya kiswah, di pabrik ini juga tirai bagian dalam Ka’bah dan kamar Nabi Muhammad diproduksi hingga hari ini.
Kiswah Ka’bah membutuhkan 670 kilogram sutra berwarna hitam, 120 kilogram benang emas, dan 100 kilogram benang perak. Pada kain hitam tersebut dijahit ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan haji- dan ornamen atau hiasan dengan benang berlapiskan emas. Ornamen atau hiasan dalam Ka’bah itu tidaklah bersifat permanen. Ia bisa diganti dengan memperhatikan hal-hal yang lebih baik. Adapun dana yang dipakai untuk membuat kiswah mencapai 17 juta riyal atau setara dengan 66,3 miliar rupiah, dan itu sudah termasuk dengan bayaran pengrajinnya.
Soal warna kiswah Ka’bah
Direktur Pusat Sejarah Makkah, Fawaz al-Dahas, menyebut bahwa faktor keuangan (financial means) lah menyebabkan mengapa warna kiswah Ka’bah berbeda-beda setiap eranya. Menurutnya, qabathi dari Mesir merupakan salah satu kain terbaik yang digunakan untuk menutupi Ka’bah. Begitu juga dengan Kiswa Yamani.
“Ka’bah pernah ditutup dengan kain berwarna putih, merah, dan hitam. Pemilihan warga tersebut berdasarkan pada faktor keuangan pada setiap era,” kata al-Dahas, kata al-Dahas, dikutip dari laman Arab News, Kamis (23/7).
Kain berwarna putih adalah warga yang paling terang yang digunakan untuk menyelimuti Ka’bah. Kelemahan kain warga putih adalah tidak awet, sering sobek dan kotor ketika para jamaah menyentuhnya. Kiswah putih tersebut kemudian diganti dengan brokat hitam-putih dan Shimla.
“Dulu kiswah diganti setiap kali ada kain yang tersedia. Hal ini terjadi pada era Khulafaur Rasyidin, Dinasti Umayyah, dan Dinasti Abbasiyah,” lanjutnya.