Minta Orang Lain Beli Barang dengan Janji Dibeli Lagi secara Kredit
Jumat, 14 Agustus 2020
Suatu ketika ada orang membutuhkan lemari es (kulkas) untuk menyimpan sayuran yang dijual agar tidak mudah busuk atau layu. Namun, ia tidak punya cukup uang untuk membelinya. Sementara pihak tokonya menghendaki pembelian secara kontan dan tidak melayani kredit. Ia mendapati barang itu dijual di toko A.
Lalu, pergilah ia menemui saudaranya yang seorang pedagang, dan ia meminta tolong agar ia bersedia membeli kulkas itu, dengan janji akan dibelinya lagi darinya dengan harga kredit, atau harga kontan, dengan pembayaran yang menunggu tanggal gajian. Jika kulkas itu awalnya seharga 1 juta, maka ia berjanji akan memberi keuntungan sebesar 100 ribu rupiah setelah gaji itu diterima.
Nah, akad seperti ini, masuk kategori akad apa dalam literasi para ulama fiqih? Bolehkah kita mengaplikasikannya? Bagaimana bila keuntungan itu tidak ditetapkan besarannya, semisal: “Tolong, aku butuh kulkas dengan model begini. Saya melihat, kulkas ini dijual di toko A. Bantu aku membeli kulkas model itu, nanti kulkas itu akan aku beli darimu lagi, dengan pembayaran saat masa gajian tiba. Sudah pasti, aku akan beri tambahan kamu sebesar keuntungan yang kamu kehendaki.” Lalu saudaranya bilang: “Aku pingin kamu memberiku keuntungan sebesar 100 ribu rupiah.” Nah, apakah akad seperti terakhir ini juga termasuk dibolehkan? Dan apa bedanya dengan akad sebelumnya?
Sekilas, model transaksi sebagaimana deskripsi di atas, sering kita dapati terjadi di masyarakat sekitar kita. Kita tidak bisa menutup mata dalam kesempatan ini. Yang kita kehendaki adalah masyarakat perlu tahu mengenai sejumlah kriteria yang boleh dan tidaknya suatu transaksi dilakukan, khususnya dalam bingkai fiqih mazhab Syafi’i.
Pertama, yang bisa kita tangkap dalam akad di atas adalah adanya janji (wa’di) dari pihak yang meminta tolong agar saudaranya membelikan barang untuknya, dengan janji bahwa barang itu akan dibelinya bila sudah datang. Janji itu juga disertai dengan janji akan memberikannya laba sebagaimana jual beli pada umumnya. Jadi, ada dua janji (wa’dani) yang datangnya dari pembeli. Janji ini, dalam konsepsi mazhab Syafi’i adalah masuk bagian dari syarat, sehingga bisa dikatakan juga, bahwa di dalam transaksi di atas, terdapat 2 syarat yang disampaikan oleh pembeli.
Kedua, jual beli sebagaimana deskripsi di atas, barangnya belum ada di sisi penjual yang dipesani. Yang tahu di mana posisi barang adalah pihak pemesan (muslim), yaitu berada di toko A dan ia tidak memiliki uang tunai untuk membelinya sendiri. Akhirnya, dia meminta kepada saudaranya untuk membelikannya dan ia berjanji akan membelinya. Jika ditelaah lebih lanjut, akad ini sebenarnya bisa diartikan dalam dua poin, yaitu:
1. Karena barang itu belum dimiliki oleh penjual yang dipesani, maka seolah telah terjadi akad yang tujuan (muqtadla al-‘aqdi) sebenarnya adalah pihak pemesan itu (muslim) hendak pinjam uang kepada pedagang yang dipesani (muslam fih), dan ia berjanji akan memberikan “manfaat” atas uang pinjaman tersebut yang kemudian diistilahkan sebagai laba. Janji memberikan laba sebelum terjadinya transaksi jual beli, adalah seolah menyerupai utang dengan menarik kemanfaatan, sehingga dipandang sebagai riba. Adapun, pengalihannya sebagai akad jual beli, adalah seolah hanya sebatas hilah (rekayasa) untuk menghindari riba itu. Para ulama menetapkan bahwa hilah (rekayasa akad) atas perkara haram, hukumnya adalah haram juga (hilah muharramah).
2. Transaksi sebagaimana deskripsi di atas adalah termasuk kebutuhan dasar (basic needs) manusia dalam lingkup masyarakat yang mana antar-kerabat dekat atau antara seorang warga masyarakat dengan tetangganya, adalah dianjurkan untuk saling tolong-menolong. Syariat tolong-menolong ini di antaranya adalah terhadap upaya memenuhi kebutuhan saudaranya (masis al-hajah). Sementara hajat yang paling dekat dan dikuatkan oleh syariat sebab unsur kemaslahatannya sehingga membutuhkan uluran orang lain adalah hajat dalam memiliki barang. Hajat seperti ini menduduki maqam dlarurat, sebagaimana kaidah:
الحاجة تنزل منزلة الضرورة
“Kebutuhan merupakan yang menempati derajat darurat”
dalam darurat, berlaku ketetapan bolehnya dispensasi hukum (rukhshah) [al-dlarurat tubihu al-mahdhurat] untuk melakukan sesuatu yang tidak pada idealitasnya, dengan ketentuan qadra kifayatihi (sekadar kebutuhan itu cukup) [ma ubiha li al-dlarurati tuqaddaru bi qadariha].
Idealitasnya jual beli adalah “tahu dengan barang” yang akan dijualbelikan sehingga terjadi kemakluman harga dan barang. Umumnya, sifat “tahu” adalah bisa tercapai dengan jalan “melihat langsung” barang (ru’yat al-mabi’). Ini adalah idealitasnya. Ketiadaan bisa melihat menempati derajat dlarurat. Oleh karenanya butuh solusi lain yang bisa mendekati maqam melihat ini dengan acuan utama adalah pengetahuan terhadap barang yang dibeli.
Akhirnya, syariat membolehkan pengetahuan itu hadir dengan jalan mencicipi barang yang dijualbelikan bila objeknya adalah makanan atau minuman, menyentuh atau meraba bila objeknya adalah barang inderawi, atau menyampaikan informasi seputar barang (al-shifah). Sekali lagi, bahwa tujuan dasar pembolehan ini adalah hilangnya sifat jahalah (ketidaktahuan terhadap barang). Alhasil, dengan hilangnya sifat ketidaktahuan (jahalah) yang bisa ditoleransi terhadap barang, maka hilang pula sifat ketidakpastian barang (gharar) dalam batas yang ditoleransi syariat (rukhshah). Selanjutnya, untuk menutup sifat ketidakidealian di atas, ada khiyar (opsi membatalkan transaksi) yang dipersyaratkan.
Dalam konteks kasus sebagaimana disampaikan dalam soal di atas, pihak yang tahu terhadap harga dan barang sebenarnya di Toko A, adalah pihak pemesan (muslim). Sementara yang tidak tahu dalam konteks ideal adalah pihak yang dipesani (muslam fih). Alhasil, sahnya praktik akadnya bisa diperinci menjadi 3 kemungkinan, yaitu:
- Pihak yang dipesani mendatangi toko yang dimaksud dan membeli barangnya. Selanjutnya, terjadi akad jual beli yang baru antara pihak yang dipesani dengan pemesan dengan harga yang maklum dan tempo yang maklum. Dalam konteks semacam ini, maka hukum transaksi di atas adalah menjadi boleh, sebab sudah terjadi serah terima harga dan/atau barang. Dan akad semacam ini merupakan yang lebih ahwath (hati-hati).
- Pihak yang dipesani (muslam fih) menyuruh pemesan (muslim) untuk membeli barang yang ia butuhkan melalui akad perwakilan (wakalah). Selanjutnya, barang itu disampaikan kepada muslam fih. Setelah barang itu diterima (qabdlu), lalu terjadi “akad yang baru” di antara keduanya. Dalam konteks seperti ini, hukum transaksi sebagaimana dimaksud di awal tulisan, hukumnya adalah sah, sebab batas-batas ketentuan sahnya akad perwakilan (wakalah) dan ketentuan jual beli sudah terpenuhi, yaitu barang itu sudah dimiliki oleh penjual, walau sebentar dengan ditengarai adanya serah terima (qabdlu) secara hakiki dan tidak secara qabdlu hukmy, semisal dengan cukup menginformasikan saja. Bagaimana bila hanya qabdlu hukmy tanpa keberadaan penyerahan secara hakiki? Simak ulasan berikutnya!
- Pihak yang dipesani menyerahkan uang kepada pemesan, dan selanjutnya ia diminta sendiri membelinya. Pihak yang dipesani hanya mengacu pada janji pemesan, yaitu: (1) pemesan akan membayar pada tempo yang dtentukan, dan (2) pemesan akan memberikan laba kepada pihak yang dipesani. Dalam konteks semacam ini, ketidaktahuan penjual terhadap barang yang dijualnya disebabkan masih adanya barang pada Toko A, sehingga barang masih belum menjadi miliknya, adalah sudah masuk kategori gharar (ketidakpastian). Adanya gharar disebabkan barang yang belum menjadi milik pihak yang dipesani, tidak mungkin ditambah lagi dengan gharar berikutnya berupa ketidaktahuan penjual terhadap barang yang dijual, ditambah ketiadaan penerimaan secara hakiki (qabdlu hakiki). Kondisi berlipatnya gharar semacam ini sering ditengarai sebagai ghararani (dua ketidakpastian) atau irtikab al-ghurur (multi-ketidakpastian) oleh para fuqaha’ dari kalangan Syafi’iyah, sehingga hukum jual beli demikian ini dinyatakan sebagai tidak sah oleh Imam Nawawi dalam pendapatnya yang shahih dan paling hati-hati (ahwath) dalam konteks terakhir, sebagaimana dinuqil oleh Syeikh Taqiyuddin al-Husny dalam Kifayatu al-Akhyar, saat menjelaskan mengenai batas-batas ditoleransinya jual beli salam, atau bai’ shifah.
Memang ada pendapat yang menyatakan bahwa transaksi ini cukup dengan pasrahnya pihak yang dipesani kepada pemesan saja sudah cukup. Sementara sifat penerimaan barang oleh pihak yang dipesani (qabdlu), cukup disampaikan lewat informasi saja (qabdlu hukmi). Namun, pendapat ini statusnya adalah lemah (dla’if), dan oleh karenanya ditengarai sebagai yang lebih dekat (aqrab) terhadap rekayasa akad yang diharamkan (hilah muharramah) agar terhindar dari utang menarik kemanfaatan saja sebagaimana yang telah dijelaskan dalam poin pertama di atas.
Kalangan ini berargumen bahwa bolehnya “sekadar informasi kepada pihak yang dipesani bahwa barang sudah dibeli oleh pemesan (qabdlu hukmi),” (namun barang itu langsung dibawa oleh pihak pemesan tanpa menghadirkan ke pihak yang dipesani yang menyuruhnya secara langsung terlebih dulu), adalah karena dalam mazhab Syafi’i, qabdlu hakiki adalah bukan syarat sempurnanya akad.
Dalam mazhab Syafi’i, sifat qabdlu bisa ditarik ulur sebagai imkan al-qabdli saja. Oleh karenanya, qabdlu hukmi sudah dianggap sebagai cukup, tanpa harus menyempurnakannya sebagai hakiki. Berbeda dengan tiga mazhab lainnya (Hanafi, Maliki dan Hanbali), yang mewajibkan sempurnanya qabdlu.
Dan sebagai solusi keluar dari khilaf mu’tabar pada qabdlu ini, maka jalan terbaik adalah menerima konsepsi wajib sempurnanya qabdlu disebabkan lebih kuat (aqwa). Adapun, bila memang benar-benar kepepet (dlarurat), serta tidak ada pilihan lain sehingga harus memakai pendapat dlaif tersebut, maka boleh menerapkan qaul dlaif terakhir dengan niat itba’ (mengikuti) pada pendapat ulama yang membolehkan. Apakah jalan ini merupakan maslahah dari sisi ukhrawi? Nah, dalam konteks ini tidak ada penjelasan dari ulama. Yang ada, hanyalah sebatas kaidah:
كل ما ورد به الشرع مطلقا ولا ضابط له فيه ولا في اللغة يرجع فيه إلى العرف
“Segala sesuatu yang turun dari syara’ secara mutlak, namun tidak dijumpai batas ketetapan yang menjelaskannya, meskipun batasan itu sekadar disampaikan lewat bahasa nash, maka batas boleh tidaknya hal tersebut berlaku adalah dikembalikan pada urf (tradisi) setempat” (al-Asybah wa al-Nadhair li al-Suyuthi, Penerbit Thoha Putra, halaman 69).
Artinya, batasan yang tidak ditetapkan dalam syaara’, maka dikembalikan pada tradisi yang berlaku atas masyarakat setempat. Jadi, jika menurut masyarakat setempat, hal itu merupakan maslahah dan terjamin tidak adanya pihak yang dirugikan, maka hal itu dibolehkan dengan syarat posisi benar-benar darurat.
Catatan Penting
Praktik dari alur jual beli di atas, dalam konteks fiqih nawazil (fiqih baru dan kontemporer), dikenal dengan istilah bai muwa’adah (jual beli dengan saling berjanji). Disebut muwa’adah sebab pihak yang dipesani sebenarnya juga khawatir bahwa “jangan-jangan, begitu barang sudah dibeli oleh pihak yang dipesani, ternyata pihak pemesan tidak jadi membelinya.” Repot, bukan? Padahal pihak yang dipesani tidak butuh barang itu. Dikembalikan ke toko asal juga sudah tidak bisa, sebab tidak sesuai syarat dan ketentuan mengembalikan barang. Jika dipaksakan tetap dimiliki, justru modalnya mangkrak di kulkas itu. Apalagi pihak yang dipesani tidak jual beli kulkas.
Oleh karena itulah, akhirnya piihak yang dipesani menjanji pemesan bahwa ia harus membelinya ketika barang itu sudah benar-benar dibeli oleh pihak yang dipesani. Adanya sikap saling menjanji sehingga akad berlaku sebagai lazim seperti, dalam praktik tersebut, pada akhirnya menggiring para fuqaha kontemporer menamainya sebagai bai’ muwa’adah. Namun, karena kedua pihak sebenarnya juga sama-sama khawatir barangnya tidak sesuai ekspektasi dan khawatir pihak yang dipesani tidak mau membeli barang itu, maka jual beli semacam juga dikenal sebagai istilah bai’ mukhatharah (jual beli dalam suasana saling khawatir).
Adanya keharusan pihak pemesan harus membeli barang yang dibeli untuknya oleh pihak yang dipesani, menggiring akad ini dinamakan sebagai akad bai’ murabahah li al-amiri bi al-syira’, yaitu jual beli dengan saling menjanjikan keuntungan kepada masing-masing pihak, dan bila barang sudah sampai ke tangan pihak yang dipesani, maka pihak pemesan wajib membelinya dengan kewajiban yang bersifat mengikat (lazimah).Wallahu a’lam bish shawab.
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syarî'ah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur