Akad Musaqah dan Kontur Tanah yang Perlu Diketahui Petani Penggarap
Selasa, 21 April 2020
Tulis Komentar
Terkadang, tanah tempat menanam memiliki kontur yang tidak biasa. Ada saja yang menyebabkan perlakuan harus berbeda dan bahkan kemudian mempengaruhi proses bagi hasil.
Suatu misal, jika kondisi ladang/perkebunan berada pada tanah yang datar, pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik diakibatkan intensitas cahaya matahari dapat menyinari seluruh area. Ini adalah kondisi normalnya.
Kontur tanah ini menjadi sangat penting artinya bagi petani, bahkan terhadap harga jual tanah. Umumnya lokasi kebun dengan kontur tanah yang datar ini harganya lebih mahal dibanding tanah yang landai. Ini menjadi suatu yang bersifat umum dan dinilai wajar oleh petani.
Nah, permasalahannya adalah bagaimana bila kontur tanah yang dijadikan obyek akad musaqah ini berbeda kondisinya? Misalnya ada dua petak kebun, yang menjadi milik seorang juragan. Satu petak berkontur datar, dan satu petak lainnya berkontur landai atau bahkan berada pada tebing jurang (wadi).
Apakah bisa seorang ‘amil mengajukan syarat bahwa bila tanaman yang berada di kontur tanah landai tersebut tidak berbuah, maka si amil meminta upah pembersihan ladang saja, sebagai ganti dari jerih payahnya yang sudah merawat kebun, namun tanaman di kebun itu tidak mau berbuah sebab sulit mendapatkan curah sinar matahari langsung?
Permasalahan ini penting sekali dipahami khususnya oleh petani penggarap perkebunan sawit, mangga, kelapa, karet, kopi, teh, cengkeh, dan lain sebagainya. Pokoknya semua tanaman produktif, baik itu jenis tanaman buah, atau yang disamakan dengan buah. Dalam hal ini kita mengacu pada qaul qadim Imam Syafi’i.
Untuk para petani dengan jenis tanaman bukan tanaman menahun, akan tetapi tanamannya dapat berbuah beberapa kali selama musim tanamnya, berarti ia mengikuti madzhab Hanafi. Untuk penjelasan semua ini, mari simak uraian berikut ini.
Apakah Petani Penggarap Boleh Mengajukan Syarat yang Berbeda?
Sebagai contoh, untuk lokasi dengan kondis tanah yang datar, bagian petani penggarap adalah ⅕ dari hasil panen. Untuk tanah dengan kontur yang landai, petani mengajukan ½ bagian dari hasil panen, mengingat risiko yang besar, yaitu tanaman akan sulit berbuah sebab kurangnya pencahayaan matahari. Bolehkah mengajukan syarat yang sedemikian rupa, khususnya bila dipandang dari sudut pandang syariat?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu melihat kembali kepada pengertian shighat akad musaqah. Shighat dalam akad musaqah mencakup pengertian lafal ijab dan qabul yang dapat dipahami oleh masing-masing pihak dengan kadar bagian yang bersifat maklum. Keberadaan maklum ini secara tidak langsung mensyaratkan wajib disepakatinya kadar bagian yang bisa diterima oleh masing-masing pihak yang berakad.
Jika dua petak tanah itu dapat diketahui masing-masing batasnya dan dapat dipahami mengenai kondisinya, maka dalam hal ini akad perjanjian dengan rincian yang berbeda tersebut hukumnya adalah bersifat boleh. Sudah pasti dalam hal ini memerlukan persetujuan pada saat akad dilangsungkan.
Bagaimana Bila Kesepakatan dalam Akad Sudah Terjadi dan Petani Baru Menyadari bahwa Lokasi Kebun Garapan Sulit Dipakai Membuahkan Tanaman dan Ia Berpotensi Rugi Tenaga Bila Akad Dilanjutkan?
Terkadang kondisi sulitnya membuahkan tanaman, baru disadari oleh petani penggarap setelah terjun langsung di lahan garapan. Berbekal pengalaman, kadang petani penggarap lebih mengetahui dan paham bahwa lahan yang akan dikelolanya sulit untuk dipakai membuahkan tanaman. Apakah boleh ia mengajukan pengubahan akad bagi hasilnya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu menimbang bahwa keberadaan akad musaqah hukumnya adalah jaizah (boleh). Artinya tidak bersifat mengikat (lazimah). Anda perlu memahami beda pengertian antara jaizah dan lazimah.
Suatu akad bersifat jaizah menggambarkan bahwa akad tersebut sifatnya adalah mubah (boleh). Dua pihak yang berserikat dapat membatalkan akad bila ditemui adanya ketidaksesuaian antara kerja dan bagian hasil yang didapat, atau sebaliknya pihak pemilik tanah dapat mengajukan pembatalan bila ‘amil dipandang lalai dalam melaksanakan tugasnya. Inilah akad jaizah, yang maknanya bersifat luwes dan tidak mengikat antara satu dan lainnya.
Dengan demikian, si amil dapat juga mengajukan perubahan kesepakatan dengan pemilik tanah setelah melihat konturnya. Menyepakatinya pemilik dengan mengabaikan isi perjanjian pertama karena menimbang kontur tanah ini, adalah masuk kategori akad iqalah. Bolehkah akad ini diberlakukan? Jika boleh, bukankah itu berarti ada akad ganda?
Jika pemilik rela dengan keberatan petani penggarap, maka hukumnya adalah boleh menerapkan akad iqalah. Suatu akad murakkabah dipandang tidak boleh diterapkan jika akad tersebut bersifat mutanafi (yaitu saling menisbikan). Penerapan akad iqalah sebagai jalan tengah di sini tidak saling menisbikan, malah justru saling mendukung pada terwujudnya maqashid syariah, yaitu tolong menolong (ta'awun).
Adapun akad musaqah ada dan berlaku serta dibenarkan oleh syariat, pertama kalinya adalah karena maksud ta’awun itu. Jika memang kondisi tanahnya memang benar seperti yang diberitahukan amil, maka tidak ada salahnya untuk meninjau kembali suatu hasil perjanjian? Tindakan pemilik ini sesuai dengan kaidah:
الثبات بالمقاصد والمرونة بالوسائل
Artinya, “Konsisten dengan tujuan dari akad musaqah dan fleksibel dalam sarana mewujudkan tujuan.”
Lain halnya dengan akad yang bersifat lazimah (mengikat/kaku). Kalau akad musaqah dipandang sebagai akad lazimah, maka hanya ada dua pilihan bagi amil menghadapi fakta kontur tersebut, yaitu antara pilihan melanjutkan akad, atau membatalkannya.
Inilah wujud dari indahnya syariat agama Islam. Luwes, lentur, dan tidak kaku. Anjuran syariat adalah agar memberikan toleransi dan memberikan kemudahan, disertai dengan mengingat tujuan utama dari diterapkannya syariat, yaitu menjaga harta. Al-shulhu khair (damai/ rekonsiliasi adalah pilihan jalan terbaik).
Bagaimana Bila Tanaman Rawatan Tidak Dapat Berbuah? Bolehkah Petani Mengajukan Ganti Rugi Pengelolaan atau Pembersihan Lahan? Untuk masalah yang satu ini, jawabnya adalah tidak dapat dilakukan sebab sudah menyalahi akad kesepakatan. Kesepakatan yang dibina adalah melakukan akad musaqah dan bukan sedang mengadakan perjanjian akad ijarah. Kedua akad ini memiliki pijakan yang berbeda.
Prinsip akad ijarah adalah menjual jasa pengelolaan. Sementara akad musaqah, adalah bagi hasil pengelolaan (syirkah). Walhasil, keduanya tidak boleh beralih tujuan. Orang muslim harus konsisten dalam tujuan.
المسلمون على شروطهم
Artinya, "Orang Muslim harus konsisten dengan kesepakatan yang sudah dibinanya,” (HR Al-Tirmidzi).
Apa yang sudah disampaikan di muka kerap terjadi di masyarakat, khususnya masyarakat yang berada di wilayah area perkebunan. Di Kalimantan, perkebunan karet kadang bukan milik warga yang ada di wilayah sekitarnya. Bahkan kerap kali kebun tersebut adalah milik orang Jakarta yang diserahkan pengelolaannya kepada salah seorang dari masyarakat sekitar yang dipercayainya. Akad pengelolaan semacam itu masuk ke dalam rumpun akad musaqah.
Dalam madzhab Syafi’i, akad ini berlaku mengikuti qaul qadimnya. Kita boleh merujuk ke qaul qadim As-Syafii karena akad ini dibutuhkan untuk menjawab permasalahan masyarakat dalam rangka menghindari timbulnya idha’atul mal (menyia-nyiakan harta/tanah) disebabkan pemiliknya jauh nun ada di wilayah seberang.
Pendapat yang sama juga berlaku untuk tanah yang ditanami jenis tanaman usia pendek atau semusim, namun bisa berkali-kali panen dalam setahun. Tetapi cantolan dari pendapat ini adalah mengikut Madzhab Hanafi, satu-satunya madzhab yang membolehkan akad musaqah pada tanaman semusim. Wallahu a’lam bis shawab.
Muhammad Syamsudin, Tim Peneliti Bidang Ekonomi Syariah Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Belum ada Komentar untuk "Akad Musaqah dan Kontur Tanah yang Perlu Diketahui Petani Penggarap"
Posting Komentar