Perihal Keselamatan Agama di Luar Islam


Sebagaimana ditunjukkan Al-Qur’an dan Hadits, Islam dapat dipahami dalam dua pengertian, yaitu semua agama tauhid yang dibawa para nabi dan rasul, dan nama bagi agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an menunjukkan kesatuan umat manusia, anak cucu Adam, yang menyembah Allah (QS. al-Anbiya’/21: 92) dan terikat penjanjian primordial untuk mengesakan-Nya (QS. al-A’râf/7: 172). Manusia kemudian terpecah-belah dan Allah mengutus para nabi dan rasul untuk menegakkan agama tauhid (QS. al-Baqarah/2: 213).

Ibrahim adalah tokoh penting yang diutus Allah untuk memulihkan monoteisme. Ajaran nabi sesudahnya, termasuk Ismail, Ishak, Yakub dan keturunannya, Musa, ‘Isa, dan Nabi Muhammad adalah kesinambungan dari monoteisme Ibrahim (QS. Ali Imran/3: 84; QS. an-Nisa’/4: 125). Agama itu disebut sebagai Islam, yang arti generiknya adalah pasrah dan tunduk kepada Allah. Pengikutnya, dari dulu hingga sekarang, disebut sebagai Muslim/Muslimin atau أمة مسلمة (QS. al-Hajj/22: 78; QS. Ali Imran/3: 85, 52; QS. Al-Baqarah/2: 128; QS. Yusuf/12: 101; QS. An-Naml/27: 31; QS. Yunus/10: 84). Hanya Islam agama di sisi Allah (QS. Ali Imran/3: 19). Siapa yang mencari selain Islam sebagai agamanya, niscaya tertolak (QS. Ali Imran/3: 85). Menimbang konteks dan pertaliannya, dua ayat terakhir berbicara tentang Islam dalam makna generik, yaitu agama tauhid.

Hadits sahih riwayat Bukhari-Muslim menegaskan kesatuan misi para nabi. Mereka semua adalah saudara seayah, berbeda-beda ibu, tetapi agamanya satu, yaitu agama tauhid atau Islam dalam pengertian asal:

الْأَنْبِيَاءُ إِخْوَةٌ مِنْ عَلَّاتٍ وَأُمَّهَاتُهُمْ شَتَّى وَدِينُهُمْ وَاحِدٌ (متفق عليه


Jumlah nabi dan rasul banyak sekali. Kisahnya sebagian diceritakan oleh Al-Qur’an, sebagian besar tidak (QS. an-Nisa’/4: 164). Menurut riwayat, jumlah nabi mencapai 124.000 orang, sementara Rasul hanya 315 (Jalâluddin as-Suyûthi, Ad-Durrul Mantsûr fit Tafsîr al-Ma’tsûr. Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyah, 2000, h. 104-105). Nabi Muhammad menjelaskan kesinambungan ajaran para nabi. Perumpamaannya seperti rumah yang dibangun, yang terus disempurnakan dan diperindah, kecuali fondasinya yang tidak berubah. Menurut Nabi, agama yang dibawanya, Islam, adalah fondasi itu sendiri:

عن أَبي هريرةَ  رضي اللّه عنه أنّ رسول الَّه صلّى اللَّه عليه وسلّمَ قال إن مثلي ومثل الأنبياء من قبلي كمثل رجل بنى بيتاً فأحسنه وأجمله إلا موضع لبنة من زاوية فجعل الناس يطوفون به ويعجبون له ويقولون : هلا وضعت هذه اللبنة ؟ قال : فأنا اللبنة وأنا خاتم النبيين (رواه البخاري


Islam dalam pengertian kedua adalah nama agama yang dibawa Nabi dan Rasul pamungkas, yaitu Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an menyebut Islam sebagai agama sempurna yang dibawa Nabi Muhammad (QS. al-Maidah/05: 3).

Islam bukan hanya telah disempurnakan doktrin-doktrin pokoknya (meliputi أصول العقيدة dan أصول الشريعة), tetapi agama yang menyempurnakan ajaran-ajaran Nabi sebelumnya. Islam hadir untuk mengembalikan manusia ke jalan yang lurus (الصراط المستقيم), jalan yang dilalui para Nabi, Rasul, dan orang-orang saleh. Dalam perjalanannya, jalan itu belok dan menyimpang karena dikorupsi para pengikutnya.Begitu Islam hadir, sebagianjalan (syariat) itu diganti atau diluruskan, sebagian lain dipertahankan, diakomodasi, dan diserap sebagai syariat Islam dengan sejumlah perubahan.

Jalan Keselamatan

Muncul pertanyaan, apakah kehadiran Islam yang dibawa Nabi Muhammad membatalkan atau me-nasakh jalan keselamatan lain di luar Islam? Artinya, selain Islam yang dibawa Nabi Muhammad, tidak ada keselamatan. Begitu Islam hadir, jalan keselamatan lain yang ada seperti Yahudi dan Nasrani otomatis tertutup dan tidak absah. Mereka semua celaka dan tempatnya kekal di neraka. Benarkah demikian?

Pertama, semua agama mengusung klaim keselamatan eksklusif, termasuk agama-agama samawi (Yahudi, Nasrani, dan Islam). Ketika Islam datang, Nabi bukan hanya ditolak oleh kaum pagan, tetapi juga oleh Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani). Mereka mengklaim agamanya yang paling benar dan pemeluk agamanya yang selamat.

Al-Qur’an (QS. al-Baqarah/2: 111) mencatat klaim Yahudi dan Nasrani yang mendaku paling berhak atas surga. Allah membantah klaim ini dan menegaskan siapa saja yang memasrahkan dirinya kepada Allah (أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ) dan berbuat kebajikan (وَهُوَ مُحْسِنٌ), baginya pahala di sisi Rabb-nya, tidak ada kekhawatiran, dan tidak pula bersedih hati (QS. al-Baqarah/2: 112). Di ayat lain, Allah menegaskan ganjaran itu tidak mengikuti angan-angan mereka (orang Islam dan Ahlul Kitab). Siapa saja yang beriman dan mengerjakan amal saleh, dia akan masuk surga (QS. an-Nisa’/4: 124).

Klaim keselamatan eksklusif kaum Nasrani bertahan berabad-abad, menjelma dalam dogma Extra Ecclesiam Nulla Salus (di luar Gereja, tidak ada keselamatan). Dalam Islam, klaim monopoli kebenaran juga berlaku. Banyak sekali ayat pendukung klaim kebenaran eksklusif. Bagi sebagian kelompok, QS. Ali Imran/3: 19, 85 serta QS. al-Maidah/05: 3 sering dipakai sebagai dalil kebenaran eksklusif Islam. Bagi sebagian yang lain, ayat-ayat itu justru menyimpan pesan-pesan Islam yang inklusif.

Kedua, untuk menjawab pertanyaan adakah di luar Islam jalan keselamatan atau pengampunan, saya ingin memulainya dengan sebuah hikayat. Salman al-Farisi, salah seorang sahabat Nabi ternama, dulunya adalah pemeluk Majusi sebagaimana umumnya orang Persia. Dia lantas bertemu dengan seorang pendeta Nasrani yang mengajaknya menjadi pengikut Yesus dan mengajarinya kitab Injil. Suatu saat, ketika sedang berkunjung ke Baitul Makdis, sang pendeta berkata akan datang masanya seorang nabi pamungkas dari bangsa Arab. Dia berpesan agar Salman beriman dan menjadi pengikutnya bila berjumpa. Selain ada tanda kenabian di punggungnya, ciri lainnya adalah dia menolak sedekah, tetapi menerima hadiah.

Salman, bersama temannya Ibn Malik, kemudian berangkat ke Madinah. Dia menjumpai Nabi dan mengitaribeliauuntuk mencari tanda kenabian di punggungnya. Nabi mengerti kehendak Salman dan menyingkap jubahnya. Di situ ada cap kenabian. Salman lantas membeli domba dan roti untuk diberikan kepada Nabi. Nabi bertanya, ‘apa ini?’ Dijawab Salman, ‘sedekah.’ Nabi menolak dan menyuruhnya diberikan ke orang lain. Salman lantas membeli lagi roti dan daging dan memberikannya kepada Nabi. Nabi bertanya, ‘apa ini?’ Dijawab, ‘hadiah.’ Nabi menerima dan mengajaknya makan bersama. Salman yakin inilah Nabi yang diceritakan pendeta itu. Dia lantas menceritakan perihal pendeta Nasrani dan teman-temannya. Mereka puasa, shalat, dan percaya bakal datangnya Nabi Muhammad yang diutus. Setelah Salman selesai memuji-muji mereka, Nabi berkata: “Hai Salman, mereka termasuk ahli neraka.” Salman merasa dunia gelap dan sesak dengan jawaban Nabi dan berkata: “Jika mereka menjumpaimu, mereka akan membenarkanmu dan mengikutimu.” Lantas turunlah ayat:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلا خَوْفٌ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ(البقرة: ٦٢)عَلَيْهِمْ


Sesungguhnya, orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Sabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekuatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”

Nabi lantas memanggil Salman, mengabarkan turunnya ayat ini dan berkata: “Siapa yang mati mengikuti agama Isa dan mati di (zaman) Islam sebelum mendengar risalahku, niscaya dia dalam kebaikan. Tetapi siapa sudah mendengar risalahku tetapi tidak mengimaniku, dia binasa”:

من مات على دين عيسى ومات على الإسلام قبل أن يسمع بي فهوعلى خير. ومن سمع بي اليوم ولم يؤمن بي فقد .(اخرجه الطبري) هلك


Hikayat ini diceritakan oleh Thabari dan as-Suyuthi dalam kitab tafsir mereka yang otoritatif, sebagai sebab turunnya QS. al-Baqarah/2: 62 (Lihat, Ibn Jarîr at-Thabarî, Jâmi’ al-Bayân ‘an Ta’wil Âyi-l Qur’ân. Beirut: Dâr al-A’lâm dan Dâr Ibn Hazm, 2002, juz 1, h. 423-426; Jalâluddin as-Suyûthi, Ad Durrul Mantsûr fit Tafsîr al-Ma’tsûr. Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah, 2000, juz 1, h. 143-145). Ayat ini mengoreksi jawaban Nabi, menegaskan bahwa mereka (Ahlul Kitab) berhak atas pahala dan kebaikan mereka tidak akan sia-sia. Menurut Ibn Abbas, ayat ini di-nasakh dengan QS. Ali Imran/3: 85, tetapi tidak menurut Thabari. Mengutip pendapat Ibn Abbas, Ar-Razi menyebut mereka yang beriman kepada Allah sebelum risalah Nabi Muhammad SAW seperti Qass Ibn Sa’idah, pendeta Bahira, Hubaib Ibn Najjar, Zayd ibn ‘Amr ibn Nufail, Waraqah ibn Nawfal, Salman al-Farisi, Abu Dzarr al-Ghifari, dan Negus punya tempat dan pahala di sisi Tuhan (Muhammad ar-Râzi Fakhruddin, Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtih al-Ghaib. Beirut: Dâr a-Fikr, 2005, juz 1 h. 102).

Dalam versi lain yang diriwayatkan Muslim, Nabi bersabda:

عن أبي هريرة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال والذي نفس محمد بيده لا يسمع بي أحد من هذه الأمة يهودي ولا نصراني ثم يموت (رواه مسلم) ولم يؤمن بالذي أرسلت به إلا كان من أصحاب النار


Ayat ini dan hadits Nabi menegaskan dua hal. Pertama, pahala mu’min sebelum datangnya Islam ditetapkan di sisi Tuhan. Kedua, mereka yang terjangkau risalah Nabi wajib tunduk, membenarkan, dan mengikuti. Sepuluh tahun sesudahnya, turun ayat dengan kandungan serupa:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئُونَ وَالنَّصَارَى مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ (المائدة: ٦٩


“Sesungguhnya, orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, Sabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (di antara mereka) yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal saleh, maka tidak ada kekuatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”

Dua ayat ini sering dikutip sebagai dalil tentang ajaran Islam yang inklusif. Rashid Ridha, dalam Tafsîr al-Manâr, mengambil kesimpulan berani bahwa syarat keselamatan dan pengampunan adalah dua hal, yaitu iman yang benar dan berbuat baik. Kata Rashid Ridha (Tafsîr al-Manâr, Beirut: Dâr al-Ma’rifah, 1993, juz 1, h. 336):

فالله يقول إنّ الفوز لا يكون بالجنسيّات الدينيّة وإنّما يكون بإيمان صحيح له سلطان على النفس، وعمل يصلح به حال الناس، ولذلك نفى كون الأمر عند الله بحسب أماني المسلمين أو أماني أهل الكتاب، وأثبت كونه بالعمل الصالح مع الإيمان الصحيح


Kesimpulan serupa diambil al-Ghazali bahwa rahmat dan ampunan Allah akan menjangkau orang beriman dan beramal saleh (Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâlî, Faishal al-Tafriqah Baina-l Islâm wa-z Zandaqah. Damascus: Dâr al-Bairuty, 1993, h. 88). Pengampunan tidak berarti tidak diadili dan disiksa. Masing-masing orang akan dihisab sesuai iman, amal, dan perbuatannya.

Kata al-Ghazali (ibid., h. 83):

إن الرحمة تشمل كثيراً من الأمم السالفة، وإن كان أكثرُهم يُعرَضون على النار، إما عرضة خفيفة حتى في لحظة أو في ساعة، وإما في مدة، حتى يطلق عليهم بعث النار، بل أقول: إن أكثر نصارى الروم والترك في هذا الزمان تشملهم الرحمة إن شاء الله تعالى، أعني الذين هم في أقاصي الروم والترك، ولم تبلغهم الدعوة


“Rahmat Allah menjangkau umat-umat terdahulu, meskipun kebanyakan mereka akan dilemparkan (dulu) ke neraka: ada yang disiksa  ringan, disiksa sekejap, sesaat, atau semasa sehingga mereka bisa disebut sebagai delegasi neraka. Menurut pendapat saya, mayoritas umat Kristen Romawi dan Turki pada zaman sekarang tercakup rahmat Allah, insya Allah, yakni mereka yang berada di pelosok-pelosok negeri Romawi dan Turki yang tidak terjangkau dakwah (Islam).”

Islam diyakini sebagai agama yang paling benar, tetapi tidak semua orang terjangkau risalah Muhammad. Menurut al-Ghazali, ada tiga jenis kelompok orang terhadap dakwah Nabi. Pertama, mereka yang sama sekali tidak pernah mendengar dakwah Nabi Muhammad SAW. Meraka akan diampuni. Kedua, mereka yang telah mendengar risalah Nabi beserta bukti-buktinyata tetapi ingkar dan kafir. Mereka ini sesat dan akan disiksa kekal di neraka. Ketiga, mereka yang mendengar Nabi Muhammad, tetapi tidak menerima informasi yang lengkap tentang sifat dan kepribadiannya atau malah memperoleh versi yang buruk sejak kecil tentang Nabi yang pembohong. Mereka, seperti kelompok pertama, juga akan diampuni. Al-Ghazali juga menambahkan kategori lain yaitu orang yang terus mencari informasi tentang Islam (اشتغل بالنظر والطلب) dan tidak ceroboh (لم يقصِّر), tetapi menemui ajal sebelum menerima Islam (ادركه الموت قبل تمام التحقيق). Ia akan diampuni berkat kasih sayang Allah.

Yang dilaknat oleh al-Qur’an adalah orang kafir yang zalim, congkak, dan mendustakan Nabi setelah melihat bukti-bukti yang nyata (بينة), seperti orang-orang kafir Quraisy dan sebagian Ahlul Kitab pada saat itu. Merekalah diancam akan dilempar ke neraka selama-lamanya, sebagaimana ditegaskan QS. an-Nisâ’/4: 115, 168; QS. al-A’râf/7: 40, QS. al-Baqarah/2: 161-162; dan QS. an-Nabâ’/78: 31-32.

Al-Qur’an menunjukkan bahwa kafir bukan sekadar persoalan doktrin yang sesat (kufur akidah), tetapi juga perilaku jahat dan culas serta congkak dan khianat sebagaimana ditunjukkan oleh Ahlul Kitab pada saat dakwah Nabi. Tidak semua Ahlul Kitab dicela al-Qur’an. Sebagian Ahlul Kitab disebut mukmin dan dipuji, meskipun mayoritas mereka adalah fasik (QS. Ali Imran/3: 110, 199). Mereka yang fasik adalah para pelaku korupsi, yang ‘mengorupsi’ firman Allah dengan melakukan tahrîf (QS. al-Baqarah/2: 75; QS. Ali Imran/3: 86; an-Nisa’/4: 46) dan juga yang memakan harta orang lain dengan batil, rakus, dan kikir (QS. at-Tawbah/9: 34). Terhadap sebagian Ahlul Kitab yang mu’min, baik, dan rendah hati, Allah menjanjikan pahala dan surga (QS. al-Mâidah/5: 82-85). Ahlul Kitab yang belum menerima risalah Nabi Muhammad, tidak boleh dipaksa konversi (QS. al-Baqarah/2: 256). Nabi bahkan menyerukan titik temu teologis (كلمة سواء) yaitu menyembah Allah dan tidak syirik (QS. Ali Imran/3: 64). Mereka yang tidak menunjukkan permusuhan dan berbuat jahat, Islam mengajarkan keharusan berbuat baik dan bersikap adil (QS. al-Mumtahanah/60: 8-9).

Lantas orang bertanya, lantas apa bedanya Muslim yang taat, yang mematuhi perintah dan menjauhi larangan, dengan non-Muslim yang tidak menjalankanshalat, tidak membayar zakat, tidak puasa dan pergi haji? Al-Qur’an menjelaskan bahwa kedudukan mereka berbeda-beda di akhirat. Mereka akan diadili sesuai dengan amal perbuatannya sebagaimana dijelaskan oleh QS. al-Hajj/22: 17:

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالصَّابِئِينَ وَالنَّصَارَى وَالْمَجُوسَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا إِنَّ اللَّهَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ  (الحج: ١٧


“Sesungguhnya (kepada) orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Sabiin, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.”

Orang-orang mu’min yang mengikuti syariat Nabi Muhammad SAW akan diganjar oleh Allah dengan surga dan diberi karunia terbesar untuk ‘menatap’ wajah-Nya. Itulahpuncak kebahagiaan (غاية السعادة) dan kenikmatan (نهاية اللذات) yang diraih hamba Allah yang beriman dan bertakwa (QS. al-A’raf/7: 156). Sementara non-Muslim, menimbang kasih sayang Allah yang melebihi murka-Nya (perhatikan QS. al-An’âm/6: 54), akan mendapat ampunan setelah diadili dan dihukum, kecuali mereka yang congkak, korup, dan menentang risalah Islam setelah jelas baginya bukti dan kebenarannya seperti Abu Jahal dan Abu Lahab. Mereka kekal di dalamnya.

Jika surga bertingkat-tingkat, surga bagi non-Muslim yang diberi ampunan mungkin lebih rendah tingkatnya dibanding surga bagi Muslim, sebagaimana dinyatakan al-Ghazali. Bisa juga mereka berada di al-A’râf, tempat tertinggi di antara surga dan neraka. Tercakup sebagai penghuni al-A’râf, kata al-Ghazali, adalah mereka yang tidak pernah merima risalah Islam, orang gila dan pengidap keterbelakangan mental, dan anak-anak orang kafir yang meninggal yang tidak pernah melawan maupun patuh kepada Tuhan selama di dunia (Abû Hâmid Muhammad al-Ghazâlî, Ihyâ Ulûmiddîn. Beirut: Dar al-Fikr, cet ke-3, tt, juz 4, h. 32). Hanya Allah yang tahu, dan Dialah yang Maha Berkehendak (فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ) untuk memindahkan manusia dari neraka ke surga (QS. Hud/11: 106-108).

Takhtim

Saya bukan seorang pluralis universalis yang menyatakan semua agama sama. Saya seorang inklusivis yang meyakini agama saya sebagai jalan keselamatan tetapi tidak menafikan jalan keselamatan agama lain dengan dua syarat kunci: iman dan amal saleh. Keselamatan bertingkat-tingkat menurut al-Ghazali (ibid., h. 26-33). Tingkat tertinggi adalah al-Fâizûn (الفائزون); mereka adalah mu’min arif (العارفون) yang memperoleh kebahagiaan karena iman dan amalnya.

Tingkat kedua adalah an-Nâjûn (الناجون) yaitu mereka yang diselamatkan karena ampunan Allah, tanpa kebahagiaan dan kemenangan (دون السعادة والفوز). Mereka berdosa, tetapi diampuni. Kategori di bawahnya adalah  al-Mu’addzabûn (المعذبون), yaitu sekelompok pendosa yang masih menyimpan secuil iman. Mereka akan diangkat dari neraka setelah tuntas menerima penebusan. Kategori terbawah adalah al-Hâlikûn (الهالكون), yaitu kafir pencela yang akan dilaknat selama-lamanya (الايسين من رحمة الله). Pada akhirnya, berkat keluasan kasih sayang Allah, mereka semua akan masuk surga, kecuali segelintir kafir yang congkak, culas, zalim, dan dusta.

Saya bukan pengikut Zakir Naik yang menyatakan siapa saja yang di luar Islam akan celaka dan tempatnya kekal di neraka. Dalam logika Naik, orang sebaik Bunda Theresa, karena beragama Kristen, sama-sama penghuni neraka seperti Hitler atau Fir’aun. Jika tanpa kualifikasi, logika ini bertentangan dengan muatan QS. al-Baqarah/2: 62, QS. al-Mâidah/5: 62, QS. al-Hajj/22: 17, QS. al-Baqarah/2: 111, dan QS. Ali Imran/3: 199. Lebih adil untuk dikatakan bahwa siapa saja yang percaya Tuhan akan dihisab sesuai dengan amal dan perbuatannya. Setiap bulir kebaikan tidak akan sia-sia di sisi Tuhan, apa pun agamanya. Dan hanya Tuhan yang berwenang menghukum atau mengampuni hambanya yang bersalah.Wallahu a’lam.

Penulis adalah Sekretaris Jenderal PP ISNU

Belum ada Komentar untuk "Perihal Keselamatan Agama di Luar Islam"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel