3 Utusan Kematian untuk Nabi Ya‘qub
Selasa, 05 Mei 2020
Mengutip kitab Zuhur al-Riyâdhah, Imam al-Ghazali mengisahkan dalam Mukasyafatul Qulub bahwa Nabi Ya‘qub ‘alaihissalam bersahabat dengan malaikat maut. Pada suatu ketika, malaikat datang kepadanya. Ditanya oleh Nabi Ya‘qub, “Wahai malaikat maut, engkau datang kemari untuk bertamu atau mencabut ruhku?” Malaikat menjawab, “Aku datang hanya bertamu.”
Nabi Ya’qub ‘alaihissalam bertanya, “Jika begitu, aku ingin menyampaikan suatu permintaan.” Malaikat bertanya, “Permintaan apa itu?” Nabi melanjutkan, “Aku harap engkau memberitahuku saat ajalku sudah dekat dan engkau ingin mencabut ruhku.” Malaikat pun menyanggupi, “Baiklah, aku akan mengirim dua atau tiga utusan.”
Tatkala ajal Sang Nabi sudah habis, malaikat maut kembali datang. Ditanya lagi oleh Nabi alaihissalam, “Apakah engkau sekadar bertamu, atau hendak mencabut ruh?” Malaikat menjawab, “Aku datang untuk mencabut ruhmu.” Sang Nabi terkejut, sebab malaikat datang tiba-tiba untuk mencabut nyawa tanpa pemberitahuan sebelumnya, “Bukankah engkau pernah memberi tahuku akan mengirim dua atau dua utusan?” Malaikat menjawab, “Benar, dan aku telah mengirim putih rambutmu sebagai utusan pertama. Padahal engkau tahu, rambutmu sebelumnya hitam. Kemudian aku mengirim lemah badanmu sebagai utusan kedua. Padahal, engkau tahu tubuhmu sebelumnya kuat. Terakhir, aku mengirim bongkok tubuhmu sebagai utusan ketiga. Padahal, tubuhmu sebelumnya tegak. Itulah utusan-utusanku kepadamu, wahai Ya‘qub, sekaligus kepada Bani Adam menjelang kematian mereka.”
Di antara pelajaran penting yang dapat kita petik dari kisah di atas adalah jangan pernah lalai dalam mengingat kematian. Cukuplah putihnya uban, lemah dan bongkoknya badan menjadi pertanda dekatnya kematian. Kendati demikian, kematian bisa datang kapan saja dan kepada siapa saja. Adapun waktu, tempat, dan caranya dirahasiakan. Pesan kisah ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw., “Perbanyaklah mengingat perkara yang memutus berbagai kenikmatan,” (H.R. at-Tirmidzi). Maksudnya adalah kematian.
Mengapa beliau berpesan demikian? Sebab pada dasarnya, manusia memiliki sifat lalai dan pelupa. Tak terkecuali para nabi. Contohnya seperti yang terjadi pada Nabi Yaqub ‘alaihissalam. Namun, menurut para ulama, kelalaian Nabi Yaqub ‘alaihissalam ini bukan sebuah kekurangan, melainkan semata agar menjadi pelajaran bagi umatnya dan juga umat-umat berikutnya.
Dalam kaitan ini, as-Samarqandi menambahkan, ada banyak manfaat dari mengingat kematian, di antaranya (1) semakin giat dalam beribadah, (2) menyegerakan bertaubat, (3) merasa cukup atas apa yang diberikan Allah. Sebaliknya, melalaikan kematian akan mewarisi sifat malas dalam beribadah, menuda-nunda bertaubat, dan tamak alias tidak puas atas pemberian Allah. (Lihat: Syekh Ibrahim as-Samarqandi, Tanbih al-Ghafilin, [Surabaya: Harisma], hal. 10).
Manfaat lain dari mengingat kematian adalah menghilangkan sifat hasud, menjernihkan hati, menghapus dosa-dosa, menjauhkan kesusahan, dan mengendalikan diri dari perbuatan hura-hura serta mencari kegembiraan semata. Bahkan, mengingat kematian hingga 20 kali dalam sehari semalam akan mewarisi kematian husnul khatimah dan dibangkitkan bersama para syuhada pada hari Kiamat. Demikian sebagaimana yang diriwayatkan oleh Siti ‘Aisyah radliyallahu ‘anha. Wallahu ‘alam.