Hukum Jual-Beli Pulsa dalam Kajian Fiqih Muamalah (1)


Wadi’ah dalam ruang kajian fiqih klasik umumnya merujuk pada pengertian yang sudah disampaikan oleh ulama kalangan empat mazhab, yaitu Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah. Jika ditelusuri berdasar ruang definisi yang mereka sampaikan, dialektika akad titip (wadi’ah) ini bisa dikategorikan menjadi empat jenis.

Menurut kalangan Hanafiyah, titipan (wadi’ah) itu dimaknai secara istilah sebagai:

تسليط الغير على حفظ ماله


Artinya, “Pemberian kuasa kepada orang lain atas penjagaan terhadap hartanya.”

Kalangan Malikiyah, mendefinisikan wadi’ah sebagai:

استنابة في حفظ المال


Artinya “Mengangkat wakil pengganti dalam menjagakan suatu harta.”

Menurut kalangan Syafiiyah, wadi’ah diistilahkan sebagai:

اسم لعين يضعها مالكها أو نائبه عند آخر ليحفظها


Artinya, “Suatu sebutan bagi harta yang ditaruh oleh pemiliknya atau wakilnya kepada orang lain, dengan maksud agar dijagakan.”

Adapun kalangan Hanabilah memiliki definisi yang lebih sederhana, yaitu

اسم للمال المودع


Artinya, “Sebuah sebutan untuk harta yang dititipkan.”

Istilah-istilah di atas dirangkum oleh Ali Sayyid Ismail di dalam kitabnya yang berjudul Abhatsun Mu’ashirah fil Iqtishadil Islamy wal Mu’amalatil Maliyah wal Mashrafiyah, [Iskandariyah, Darut Ta’lim Al-Jami’i: 2020], halaman 113-114.

Jika mencermati konsep titipan ini, kita dapat menarik simpulan bahwa yang dimaksud sebagai wadi’ah dalam dialektika fiqih klasik merupakan gambaran dari suatu aktivitas mengamanahkan atau mengangkat wakil yang terdiri atas pihak lain agar menjaga hartanya.

Permasalahannya kemudian, adalah bahwa harta itu ada dua macam, yaitu ada harta ainiyah (aset fisik) dan ada juga aset yang tidak tampak namun memiliki nilai dan manfaat, yang dikenal sebagai aset nonfisik, aset nuqudiyah, atau kita sering menyebutnya sebagai barang jasa.

Kedua aset ini tidak dibahas dalam ruang kajian wadi’ah, khususnya, bagaimana bila harta wadi’ah itu terdiri atas aset fisik (wadi’ah ainiyah)? Bagaimana pula bila harta wadi’ah itu terdiri dari harta berjamin nilai, barang jasa, atau aset nonfisik lainnya (wadi’ah nuqudiyah).

Yang disepakati bahwa untuk wadi’ah ainiyah (titip aset fisik), para ulama kalangan mazahibul arba’ah telah sepakat akan kebolehannya, dan memasukkannya dalam kelompok amanah. Artinya, titipan itu harus disampaikan berupa wujud fisik barang, apa adanya.

Nah, yang tidak disepakati adalah jika barang yang dititipkan itu berupa aset nilai, barang manfaat atau barang jasa (wadi’ah nuqudiyah). Tidak disepakatinya adalah sebab tidak ada bahasan tentang masalah itu dalam kitab-kitab turats.

Kita hanya menemukan sedikit isyarat-isyarat (qarinah) yang ditunjukkan oleh para ulama dari masing-masing mazhab tersebut. Misalnya, Imam Abu Hanifah secara tegas menyatakan kebolehan akad jual beli “barang manfaat”. Namun, kalangan Syafiiyah, menjelaskan bahwa jual beli “barang manfaat” itu hakikatnya bukan “jual beli”, melainkan masuk akad “ijarah” (sewa jasa), di mana jasa itu sendiri merupakan “manfaat”.

Jika mengikut pendapat Abu Hanifah bahwa barang manfaat itu dapat dijualbelikan, maka itu artinya manfaat/jasa dapat dianggap sebagai barang wujud (nonfisik). Pengertian nonfisik itu tidak sama dengan benda tidak berfisik. Nonfisik merujuk pada pengertian ada/diproduksi, tapi wujud fisiknya yang tidak tampak/kasat mata. Adapun tidak berfisik itu menyatakan tidak ada sama sekali/tidak diproduksi (adam).

Untuk itu, “manfaat” sebagai nonfisik seharusnya dapat dihibahkan, diwakafkan, bahkan dipindahtangankan, meski tanpa disertai dengan wujud keberadaan fisiknya yang kasat mata, dan hanya wujud nonfisik. Oleh karenanya pula, sebagai “barang wujud nonfisik”, maka “manfaat” juga bisa “dititipkan” (wadi’ah) atau dipesan dengan akad “salam”.

Memesan hotel itu bukan berarti membeli fisik hotelnya, melainkan manfaat dari hotel itu. Sebagai ilustrasi yang lebih dekat lagi, “pulsa” adalah “manfaat” yang hakikatnya adalah “wujud nonfisik”. Jadi pulsa, dalam dialektika sebagai “barang wujud nonfisik” ini, dapat dititipkan, dan dijualbelikan. Walhasil, istilah “jual beli pulsa” adalah merupakan istilah yang dibenarkan menurut mazhab Hanafi.

Adapun bila mengikuti paradigma berpikir Madzhab Syafii, maka “manfaat” itu ada disebabkan adanya fisik (ain). Alhasil, menitipkan “manfaat” saja adalah “tidak bisa” tanpa disertai dengan wujud ain-nya. Untuk itu, akad menitipkan manfaat harus bersamaan dengan fisiknya. Jika pemanfaatan itu disertai dengan hilangnya wujud fisik, maka hakikatnya orang yang dititipi harus menanggung pengembalian fisik barang (dhaman).

Kewajiban menanggung pengembalian fisik barang, itu artinya sama dengan barang itu sudah dipergunakan duluan oleh pihak yang dititipi sehingga berubah menjadi tanggungan utang baginya. Nah, kesadaran bahwa barang fisik itu hilang sebab dipergunakan olehnya, menjadikan akad titip tersebut berubah menjadi akad utang secara hukum (qardhu hukman). (Selanjutnya..)

Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah–Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur

Artikel Terkait

Belum ada Komentar untuk "Hukum Jual-Beli Pulsa dalam Kajian Fiqih Muamalah (1)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel