Perbedaan Jual Beli Barang Fisik dan Index Trading


Jual beli di pasar tradisional merupakan jual beli yang mempertemukan secara langsung antara penjual (pemilik barang) dengan pembeli (pemilik harga) dalam suatu majelis akad. Majelis akad ini, adakalanya dalam bentuk tatap muka secara langsung, atau lewat perantara komunikasi media. Barang yang dibeli pun juga bisa dikategorikan menjadi 3, yaitu dengan melihat barang secara langsung, atau melalui wakil, atau melalui deskripsi yang disampaikan oleh penjual, dan sejenisnya. Opsi pembatalan atau melanjutkan akad jual beli juga bisa dilakukan baik secara langsung di majelis akad (khiyar majelis), atau dalam tempo yang disepakati (khiyar syarat) akibat melihat cacat (khiyar aib) yang terdapat pada barang dan berada di luar ketetapan yang disepakati.

Yang paling penting untuk dicatat adalah bahwa jual beli sistem tradisional ini memiliki wasilah langsung berupa barang fisik yang diperdagangkan. Dan ini yang membedakannya dengan sistem trading. Dalam trading, setiap barang yang diperjualbelikan diilustrasikan sebagai nilai-nilai indeks harga.

Coba bayangkan, anda menghadapi sebuah barang berupa sepeda motor. Jika yang dihadapi adalah berupa fisik barang secara langsung, atau hal yang bisa disifati sesuai dengan wujud riil dari sepeda, maka ini adalah jual beli klasik (tradisional). Namun, kesan akan bernilai lain, jika sepeda motor itu disampaikan dalam bentuk indeks.

Misalkan, untuk sepeda motor yang masih baru, indeksnya adalah 5. Sepeda motor yang sudah pernah dipakai selama minimal 2 tahun, maka sepeda tersebut nilai indeksnya adalah 4. Sepeda motor minimal 4 tahun, maka sepeda tersebut nilai indeksnya adalah 3. Demikian seterusnya dengan kelipatan pemakaian bertambah 2 tahun, maka indeks semakin turun ke level 2 atau 1.

Jika indeks pemakaian itu digabungkan dengan nilai indeks penampakan fisik barang, gores atau tidak catnya, pernah dipakai kecelakaan atau tidak, maka gabungan antara indeks lama pemakaian dengan indeks penampakan fisik sepeda, akan menghasilkan angka-angka berbasis statistik atau berbasis coding (pengkodean). Bisa jadi, indeks itu akan berwujud gambaran seperti angka 54. 

Angka ini bukan dibaca 54 sebagai urutan bilangan aljabar, akan tetapi merupakan kode, seperti 5 menggambarkan kondisi barang yang masih new. Sementara angka 4, menggambarkan kode referral bahwa barang tersebut masih perlu dirakit. Alhasil, barang dengan contoh kode 54 di atas adalah fisiknya belum ada. Jika membeli barang tersebut, maka seolah pembeliannya merupakan pembelian dengan sistem inden (antri pembuatan) terlebih dulu. Akad yang dipergunakan dalam konteks syariah adalah akad bai’ al-amiri bi al-syira’, yaitu jual beli barang secara sistem pesan, dan bila barang sudah jadi, maka barang tersebut harus dibeli dan tidak boleh dibatalkan oleh pembeli. Nah, faham, bukan?

Apakah hal semacam di atas ini ada dalam praktik trading di pasar bursa?

Di dalam pasar Bursa Efek Indonesia, dikenal adanya 4 kode indeks, yaitu: (1) indeks headline, dan (2) indeks sektoral, (3) indeks thematic, dan (4) indeks faktor. Kita akan ambil salah satu contoh penjelasannya saja, yaitu indeks headline.

Indeks Headline, merupakan indeks yang dijadikan acuan utama untuk menggambarkan kinerja pasar modal. Indeks ini terdiri dari 4 kode referral, antara lain: a) komposit, b) papan (board), c) liquidity, dan d) Liquidity Co-Branding.

Indeks komposit merupakan indeks harga saham gabungan (IHSG). Keberadaan IHSG dapat menggambarkan kondisi pasar modal di Indonesia. 

Indeks board, merupakan indeks yang dikelompokkan berdasarkan papan pencatatan yang ada di bursa. Ada dua papan pencatatan di pasaran bursa, yaitu 1) papan pencatatan utama dan 2) papan pencatatan pengembangan. Indeks yang tercatat di papan pencatatan pengembangan, biasanya terdiri dari indeks yang dimiliki oleh para pelaku baru di pasaran bursa. Oleh karenanya fluktuasi (naik turun) harga sahamnya sangat besar, sehingga dikenal dengan istilah high risk (risiko tinggi). Jika diterima oleh pasar, maka membeli sahamnya, dapat menjadi ajang spekulasi yang menguntungkan. Namun, jika ditolak pasar, bisa jadi harga sahamnya akan berangsur jeblok dan turun sampai tak bersisa.

Sementara itu, indeks yang tercatat pada papan pencatatan utama, merupakan indeks yang cenderung berisiko rendah (low risk). Misalnya, beberapa industri yang sudah mapan, seperti Semen Gresik, Gudang Garam, Bank Syariah, Bank Konvensional, Telkomsel, dan lain-lain. Membeli saham perusahaan low risk, cenderung aman dari sisi keuangan, sebab fluktuasinya stagnan. Alhasil, berbeda jauh dengan saham pengembangan (IPO).

Liquidity (LQ), merupakan kode indeks yang fisik barangnya bersifat liquid (mudah cair, dan mudah dijualbelikan). Anda bisa membayangkan bukan, bagaimana gambaran dari barang yang mudah laku itu? Segala sesuatunya dipengaruhi oleh pasar. Jika di pasar harganya turun, maka turun pula penghasilan para investor. Jika harganya naik, maka naik pula penghasilan investor. Itu terjadi bila barang fisik tiba-tiba harganya naik atau tiba-tiba harganya turun. Atau bisa jadi juga disebabkan faktor alam. Suatu misal, harga gandum beranjak naik, sebab di wilayah pemroduksi gandum sedang terjadi bencana besar yang memusnahkan ladang gandum dalam skala luas. Atau bisa jadi juga disebabkan karena faktor peperangan dan politik. Misalnya, minyak bumi naik harganya disebabkan negara penghasil minyak bumi sedang dalam kondisi perang sehingga barang yang ada di pasaran menurun. Saham minyak bumi, gandum, beras, emas, seluruhnya bisa masuk dalam indeks LQ ini.

Liquidity Co-Branding merupakan kode indeks barang yang mudah laku, akan tetapi kepemilikannya harus bekerjasama dengan pihak lain (co-branding). Contoh dari indeks saham kelompok Liquidity Co-Branding ini, adalah produsen laptop. Anda saksikan di laptop anda, adakah kode Intel? Apa merek Laptop anda? Bisa jadi, laptop anda bermerek Lenovo, Dell, Acer, Hawlett Packard (Hp), dan sejenisnya. Namun, prosesor yang digunakan ternyata adalah Intel. Itu artinya, pihak produsen laptop anda sedang menjalin kerjasama dengan produsen Intel. Alhasil, laptop anda adalah laptop hasil co-branding. Jika produsen laptop anda masuk ke pasaran bursa, maka indeksnya adalah indeks LQ Co-Branding. LQ untuk menunjukkan bahwa barangnya mudah laku di pasaran. Sementara Co-Branding, menunjukkan bahwa ada bagi hasil dengan pihak produsen intel.

Nah, paham, bukan? Dengan demikian, jika anda menemukan kode di pasaran bursa, kenali terlebih dulu, kode itu tercatat di papan utama, ataukah di papan pengembangan (IPO)! Setelah itu, anda lihat kode indeksnya! Jika kode indeks headline-nya adalah LQ45, itu berarti fisik barang yang sedang digambarkan dalam kode indeks adalah barang yang mudah laku dan masuk dalam daftar LQ45. Selanjutnya anda perlu mencari tahu, di mana daftar LQ45 itu, dan seberapa besar peminatnya! Tujuannya, untuk mengenali gambaran dari fisik yang dicatat dalam bentuk indeks itu, persis seperti kode indeks sepeda motor yang diilustrasikan oleh penulis di atas.

Lantas, bagaiimana hukum melakukan index trading ini? Simak ulasannya di tulisan-tulisan mendatang! Wallahu a’lam bi al-shawab!

Ustadz Muhammad Syamsuddin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah–Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur.

Belum ada Komentar untuk "Perbedaan Jual Beli Barang Fisik dan Index Trading"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel