Ketentuan Tanya Jawab Hukum Islam di Media Sosial dan Televisi
Minggu, 14 Juni 2020
Tulis Komentar
Di era informasi, internet, media sosial (medsos) dan media televisi, banyak rubrik atau segmen tanya jawab agama dan hukum Islam. Narasumber atau pembicaranya memberikan jawaban terhadap masalah agama dan hukum atas pertanyaan audiens atau masyarakat kepadanya. Jawabannya sering kali disampaikan secara cepat dan sembarangan, sembrono alias ngawur, karena tidak dilandasi pada wawasan dan pertimbangan hukummya secara komprehensif.
Tampak seolah-olah dia pandai karena bisa menjawab semua pertanyaan tersebut dengan langsung dan cepat. Padahal sejatinya tidak demikian, bahkan yang tampak justru kecupetannya, dan merupakan bentuk pembodohan dan membahayakan publik. Padahal sekelas imam mazhab saja tidak selalu dapat menjawab dengan cepat semua pertanyaan yang diajukan kepadanya.
Imam Mâlik ditanya empat puluh masalah. Terhadap 36 masalah dari masalah itu, beliau menjawab: ”Lâ adri” (Saya tidak tahu)”. Demikian juga banyak masalah yang ditanyakan kepada imam Syafi'i, beliau juga menjawab: ”Saya tidak tahu.”
Jadi, logika orang yang memberikan jawaban hukum dalam rubrik atau segmen tanya jawab itu merupakan logika mufti yang memberikan fatwa (orang yang menjawab pertanyaan hukum), sehingga tidak boleh sembarangan dan sembrono alias ngawur. Sahabat Ibnu Mas’ûd dan Ibnu ‘Abbas radhiyallâhu ‘anhumâ, antara lain dalam tiga redaksi berbeda, mengingatkan:
مَنْ أَفْتَى فِيْ كُلِّ مَا سُئِلَ عَنْهُ فَهُوَ مَجْنُوْنٌ. مَنْ أَفْتَى عَنْ كُلِّ مَا يُسْأَلُ فَهُوَ مَجْنُوْنٌ. مَنْ أَفْتَى النَّاسَ عَنْ كُلِّ مَا يَسْأَلُوْنَهُ عَنْهُ فَهُوَ مَجْنُوْنٌ
Artinya,”Barang siapa memberikan jawaban hukum (fatwa) terhadap setiap masalah yang ditanyakan kepadanya, maka dia adalah orang gila.” (HR Ath-Thabrânî). Keterangan teks: redaksi pertama dalam karya Az-Zarkasyî (745-794 H), Al-Bahrul Muhîth fî Ushûlil Fiqh (1992, Juz VI: 205), redaksi kedua dalam Imam An-Nawawî, Al-Majmû‘ (Juz I: 73), dan redaksi ketiga dalam Ibnu Qayyîm al-Jauziyyah (w. 751 H), I‘lâmul Muwaqqi‘în (1423, Juz III: 443).
Oleh karena itu, para ulama lintas mazhab telah merumuskan syarat-syarat mufti, dengan syarat yang ketat berkaitan dengan keahlian (kapabilitas), dan integritas serta kredibilitas moral (akhlak). Syarat ini seharusnya pula berlaku bagi pemberi jawaban dalam rubrik atau segmen tanya jawab.
Imam Al-Âmidî asy-Syâfi‘î (551-631 H), dalam kitabnya Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm (Beirut: Dâr al-Fikr, 1996, Juz IV, hlm. 347), menyebutkan dua syarat wajib dan satu syarat anjuran bagi mufti. Pertama, ahli ijtihad, yaitu orang yang mengetahui dalil-dalil logika, dan dalil-dalil sama‘î (wahyu) dan jenis-jenisnya, juga perbedaan tingkatannya terkait arah penunjukan dalil-dalil tersebut, serta mengetahui nâsikh mansûkh, dalil-dalil yang saling bertolak belakang dan tarjîh terhadapnya, serta mengetahui tata cara merumuskan hukum dari dalil-dalil itu.
Kedua, bersifat adil dan terpercaya, sehingga bisa dipercaya jawaban hukum yang disampaikannya. Atas dasar inilah orang fasik tidak sah fatwanya. Ketiga, syarat anjuran: dalam berfatwa itu tujuannya untuk memberikan arahan dan petunjuk kepada publik mengenai hukum syara’, bukan motif atau orientasi riya’ (pamer) dan sum‘ah (ingin tenar); juga mempunyai sifat tenang dan berwibawa, agar orang yang mendengarkannya bersemangat menerima yang ia sampaikan; dan menjaga diri dari menyakiti manusia; serta menjauhkan sikap yang bisa berakibat orang berpaling darinya.
Perihal ijtihad itu terdapat banyak syarat yang harus dipenuhi, singkatnya, ada delapan syarat mujtahid, ditambah satu syarat bagi mufti, yang dirangkum dari kitab-kitab ushul fiqih, antara lain karya al-Kalûdzânî al-Hambalî (432-510 H), at-Tamhîd fî Ushûlil Fiqh (1985: 390); al-Ghazâlî Asy-Syâfi‘î (w. 505 H), Al-Mustashfâ (2000: 342-245); az-Zarkâsyî Asy-Syâfi‘î (w. 694 H), Al-Bahr al-Muhîth (hlm. 199-206); Hâfizh ad-Dîn an-Nasîfî al-Hanafî (w. 710 H), Kasyful Asrâr (Juz II: 300-301); ath-Thûfî al-Mâlikî (w. 716 H), Syarh Mukhtashar ar-Raudhah (1990: 575); dan asy-Syâthibî al-Mâlikî (w. 790 H), al-Muwâfaqât fî Ushûl Asy-Syarî‘ah.
Syarat-syarat ijtihad bagi mujtahid/mufti: (1) Mengetahui makna ayat-ayat hukum Al-Qur’an (sekitar 500 ayat hukum); (2) mengetahui hadits-hadits hukum (sekitar 500 [versi Al-Mâwardî], 3000 hadits [versi Ibnul ‘Arabî], bahkan 300 ribu atau 500 ribu hadits [versi Imam Ahmad]); (3) mengetahui nâsikh dan mansûkh Al-Qur’an dan Sunnah dalam ayat-ayat dan hadits-hadits tertentu; (4) mengetahui tempat-tempat ijma’; (5) mengetahui qiyâs dan syarat-syaratnya, ‘illat hukum dan metode istinbâth-nya dari nash-nash, mengetahui kemaslahatan manusia dan prinsip-prinsip universal bagi syara’; (6) mengetahui ilmu-ilmu bahasa Arab, ilmu bahasa, nahwu, sharaf, ma‘ânî, bayân dan uslub bahasa, karena Al-Qur’an dan Sunnah berbahasa Arab; (7) menguasai ilmu ushûl al-fiqh; dan (8) paham maqâshidus syarî‘ah yang bersifat universal (fahmu maqâshidis syarî‘ah al-‘âmmah); dan bagi mufti (mujtahid mufti) ditambah syarat (9) berintegritas, bersifat adil, yakni menjauhi kemaksiatan yang merusak sifat adil. Sungguh pun ketatnya syarat ijtihad itu, ijtihad partikular mengenai suatu bidang tertentu (tajazzu’ al-ijtihâd), bagi orang yang menguasai satu bidang tertentu, bukan bidang yang lain, boleh berijtihad dalam lingkup bidangnya itu.
Oleh karena itu, ada tiga perangkat metodologis yang harus diperhatikan dalam ijtihad, dan fatwa, termasuk menjawab pertanyaan hukum, Pertama, Tahqîq al-Manâth, yakni upaya mengidentifikasi dan memverifikasi substansi obyek hukum sehingga dapat menghindari kesalahan teknis dalam penyesuaian antara satu hukum dengan obyeknya.
Kedua, I’tibâr Ma’âlat al-Ahkâm, yakni mempertimbangkan dan memantau kondisi aplikasi hukum yang telah ditempuh pada perangkat Tahqîqul Manâth. Jika pada perangkat pertama (Tahqîqul Manâth) menekankan urgensi seorang mujtahid memahami dan mendalami sesuatu/peristiwa (kasus) yang sedang terjadi, maka perangkat yang kedua (I’tibâr Ma’âlatil Ahkâm) adalah memahami dan mempertimbangkan dampak atau implikasi hukum yang akan terjadi (mutawaqqa’): menarik maslahat atau justru menyebabkan mafsadat.
Ketiga, Murâ’at al-taghayyurât, yakni memantau perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam realita, karena kebijaksanaan hukum dapat berubah berdasarkan perubahan waktu, tempat, kondisi, motivasi, dan adat-istiadat/tradisi. Dalam konteks ini, perlu murâ’ât al-khilâf, yakni mempertimbangkan ikhtilaf ulama mengenai suatu hukum (Lihat asy-Syathibî, al-Muwâfaqât, Juz IV, hlm. 64-76, 140-151, Ibnul Qayyîm al-Jauziyyah, I‘lâmul Muwaqqi‘în, Juz III, hlm, 3, dan Asy-Sya‘rânî, Kitâb Al-Mizân, Juz I, hlm. 59-63).
Terkait ini, penting dipenuhi pula lima parameter memahami hukum yang dirumuskan oleh Prof Dr Khâlid Abûl Fadhl (pakar hukum Islam kontemporer) dalam karyanya Speaking in God’s Name: Islamic Law, Authority and Women (Oxford: Oneworld, 2001), hlm. 54-56. Lima parameter ini dibutuhkan agar pemahaman, jawaban pertanyaan, dan penerapan hukum Islam itu, bersifat otoritatif dan tidak otoriter (sewenang-wenang).
Pertama, melakukan kejujuran (honesty), yakni seseorang dalam merumuskan dan/atau menjawab pertanyaan hukum tidak bersikap pura-pura memahami sesuatu yang tidak diketahuinya, tetapi bersikaplah jujur mengenai wawasan dan kemampuannya dalam memahami hukum. Kedua, kesungguhan (diligence), yakni penuh tanggung jawab agar tidak mencederai yang berhak menerima hak. Ketiga, melakukan pertimbangan secara menyeluruh (comprehensiveness), yakni mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait. Keempat, melakukan rasionalitas (reasonableness), yakni melakukan interpretasi (penafsiran) dan menganalisis hukum itu secara rasional (logis). Kelima, mengendalikan diri (self-restraint), yakni harus mengenal batasan peran yang dimiliki, sehingga dapat menahan diri untuk tidak menarik kesimpulan mengenai suatu persoalan ketika bukti-buktinya tidak mencukupi.
Dengan demikian, mencermati persyaratan yang sangat ketat yang harus dipenuhi seseorang yang akan menjawab permasalahan hukum dan mencermati teladan para imam mazhab di atas, maka penting ditegaskan dan dingatkan kepada semua orang terutama dalam rubrik tanya jawab, di berbagai media: medsos, tv, radio, dan lainnya, apalagi dalam siaran live, agar tidak sembarangan dan sembrono dalam menjawab pertanyaan agama (hukum Islam).
Demikian juga, tulisan ini dimaksudkan agar masyarakat tidak sembarangan bertanya masalah hukum kepada orang atau lembaga yang bukan ahli di bidangnya. Pun media publik agar juga tidak membuka ruang atau segmen tanya jawab agama dan hukum kepada orang yang tidak menguasai dan tidak mempunyai kepasitas keilmuan di bidangnya. Oleh karena itu, Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) menjadi satu contoh dan model lembaga yang penting dan otoritatif untuk dimintai pandangan hukumnya terkait masalah-masalah hukum yang terjadi di masyarakat.
Ustadz Ahmad Ali MD, anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Banten dan Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Banten.
Belum ada Komentar untuk "Ketentuan Tanya Jawab Hukum Islam di Media Sosial dan Televisi"
Posting Komentar