Minggu, 19 April 2020
Tulis Komentar
Di tengah wabah Covid-19 yang masih belum menentu ini, semua pihak berharap diselamatkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dari marabahaya. Jika disuruh memilih, semua tentu akan menolak mendapatkan wabah seperti ini. Namun, wabah sudah berada di depan mata, dan ini menjadikan semua lapisan masyarakat mulai dari pemerintah, tenaga medis, serta para dermawan, bahu-membahu menyumbangkan tenaga maupun materi untuk mengatasi Covid-19. Pasien yang mendapatkan cobaan terjangkit virus ini, tidak ada orang yang boleh berputus asa kemudian menolak dirawat. Semua harus optimis dan yakin bahwa hakikatnya semua hal tersebut berasal dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Afifudin Abis Sa’adat (w: 768 H) menceritakan sebuah kisah, ada seorang ahli ibadah (‘abid) yang biasa beribadah di Masjidil Haram. Setiap malam ia selalu didatangi seorang pria. Pria tersebut selalu membawakan dua piring makanan untuknya. Hal ini sudah berjalan cukup lama sampai-sampai jiwanya mulai memberontak kepada dirinya sendiri.
“Urusan makanan, aku sudah merasa nyaman dengan makhluk, aku malah melupakan pemberi rezeki semua makhluk (Allah). Alangkah sebuah kelalaian yang mengagumkan,” gerutu si ahli ibadah itu.
Sebagaimana malam-malam yang sudah berjalan seperti biasanya, ia kembali didatangi pria yang sama seraya membawakan dua piring makanan. Tapi ahli ibadah tersebut menolaknya. Ia berpikir bahwa ia masih mempunyai Allah untuk tempat bersandar, tanpa harus bergantung menerima pemberian seorang makhluk. Karena ditolak, sang dermawan yang biasa memberikan makanan, akhirnya membawa kembali pulang barang bawaan yang sudah ia siapkan.
Akibatnya, selama tiga hari, ahli ibadah tadi menjadi tidak ada yang mengirimkan makanan lagi. Ia tidak punya bekal makanan sama sekali. Sampai akhirnya ia mengadu kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam doa munajatnya.
Setelah berdoa, ‘abid bermimpi. Ia berdiri menghadap ke hadirat Allah subhanahu wa ta’ala. Dalam mimpinya, Allah ta’ala bertanya “Wahai hambaku. Kenapa engkau malah menolak pemberian yang sudah aku kirim kepadamu melalui hambaku?”
“Ya Allah, aku menghentikan pemberian itu sejak hatiku berpikir bahwa jiwaku menjadi nyaman dengan pemberian makhluk-Mu sehingga aku tidak lagi tergantung kepada-Mu” jawab ‘abid.
Allah lalu bertanya lagi, “Kamu tahu tidak, siapa sebenarnya yang mengutus dia untuk mendatangimu?”
“Ya pastinya Engkau yang mengutusnya, Ya Allah.”
“Kalau begitu, kamu sebenarnya sedang mengambil barang yang tadi kamu katakan bahwa itu hakikatnya dari-Mu (Allah) tersebut, maka ambillah!” Demikian penjelasan dari Allah.
Di sisi lain, pria dermawan yang ahli shadaqah juga bermimpi yang sama. Ia bermimpi seolah-olah ia berada di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala. Allah bertanya kepada dia, “Wahai hamba-Ku, kenapa engkau menghentikan pemberian makanan yang sudah kamu rutinkan kepada hamba-Ku itu?”
“Iya, ya Allah, Engkau tentunya sudah tahu bagaimana detail kejadiannya.”
“Wahai hamba-Ku, karena siapa Engkau memberikan makanan itu?”
“Aku berikan makanan itu sebenarnya semata-mata karena-Mu, ya Allah.”
Lalu Allah berfirman “Orang fakir yang engkau beri itu tetap akan mendapatkan pahala sebagaimana kebiasaan yang ia lakukan. Dan kamu, tetaplah seperti kebiasaan kamu! Pahalamu adalah surga” (Afifudin Abis Sa’adat al-Yafi’i as-Syafi’i, Raudhur Rayyahin fi Hakayas Shalihin, [Maktabah At-Taufiqiyyah], hlm. 117).
Dengan kisah di atas, ada hikmah yang perlu kita petik pada situasi seperti sekarang ini. Apa pun motif dan penyebabnya, wabah harus dihadapi bersama. Mari kita memposisikan diri kita masing-masing, bagi yang fakir-miskin, jangan minder karena selalu dibantu, jangan sampai menolak bantuan dari dermawan, tetaplah beribadah dan jangan putus asa. Hakikat pemberi sakit dan pemberi bantuan adalah Allah melalui tangan-tangan hamba-Nya.
Bagi orang yang sedang sakit baik karena Covid-19 atau sebab yang lain, tetaplah tabah! Bagi tenaga medis dan pemerintah yang bertugas, dermawan yang telah mendonasikan hartanya, termasuk para relawan dan lain sebagainya, mari kita posisikan sesuai tupoksi dan porsi masing-masing ikhlas karena Allah subhanahu wa ta’ala. Dengan menyadari posisinya masing-masing dan ikhlas, kita akan mendapatkan surga dari Allah subhanahu wa ta’ala. Wallahu a’lam.
Ustadz Ahmad Mundzir, pengajar di Pesantren Raudhatul Qur’an an-Nasimiyyah, Semarang.
Belum ada Komentar untuk " "
Posting Komentar