Jalan Tengah dalam Perkembangan Fiqih Muamalah
Selasa, 12 Mei 2020
Tulis Komentar
Dunia santri sering diidentikkan dengan dunia telaah kitab kuning baik dalam konteks micro text maupun macro text. Micro text merupakan kajian sedikit menukil banyak menguraikan. Umumnya kajian ini merupakan telaah berbasis maqashidy, yaitu telaah berbasis tahsinul manath. Sebaliknya, kajian macro text, adalah kajian banyak menukil, dan sedikit menguraikan. Kajian ini menyerupai telaah aspek tahqiqy al-manath.
Simpulan yang lahir dari keduanya sudah pasti memiliki kecondongan yang bisa saja sama, namun tidak jarang juga berbeda. Perbedaan yang lahir adakalanya jauh (ba’id), dan adakalanya sedikit (qarib). Namun, konsep awal berangkatnya adalah sama, yaitu berangkat dari kaidah berikut ini:
ما أبيح للضرورة تقدر بقدرها
Artinya “Sesuatu yang dibolehkan karena unsur dharurat, harus bisa ditentukan kadarnya.”
Ad-dharurat merupakan faktor yang hendak diukur. Adanya perkara yang dihukumi (mahkum bih) disebut darurat, adalah karena ada beberapa alasan yang menjadi indikatornya. Jika seorang pengambil kebijakan (policy) berpatokan pada definisi-definisi kualitatif, maka gaya penyikapannya terhadap kondisi yang terjadi pada mahkum bih akan berbeda dengan mereka yang berpatokan pada gaya kuantitatif.
Keperbedaan itu terletak pada persepsi personal (subyektif/nafsu) yang dihasilkannya. Sikap personal seperti ini umumnya gampang dibelokkan oleh keberadaan sihir informasi yang berada di sekitarnya. Jika sihir informasi itu didominasi oleh kecondongan pada A, maka kebijakannya akan mengarah pada upaya menguntungkan A dibanding memperhatikan aspek kerugian yang ditimbulkan karena mengabaikan B, atau sebaliknya. Singkatnya, pandangan obyektif, yakni keterukuran berbasis realitas obyek, menjadi terabaikan sehingga kemudian lahir kebijakan-kebijakan yang sering kali diistilahkan sebagai sepihak atau keberpihakan.
Sebenarnya pokok terpenting dari penanganan “dharurat”, dalam konteks fiqih hanyalah disampaikan sebagai “bi qadril imkan” (penulis: menurut “kadar” kemungkinan penanganan). Teks dari kaidah ini adalah “benar” dan tidak dipungkiri oleh para ilmuwan fiqih. Namun, “benar” ini kemudian menjadi bersifat “kualitatif” ketika harus berhadapan dengan realitas (al-waqi’).
Dalam dunia “riset ilmiah” (scientific inquiry), pernyataan “kadar” adalah bernuansa nisbi dan relatif. Suatu perkara dapat dinilai merugikan oleh satu pihak, namun belum tentu merugikan menurut pihak lainnya. Untuk itu butuh langkah “mengukur kadar” kerugian yang diderita itu sehingga tercapai maksud yang diistilahkan sebagai “keadilan bersama”. Indikator dari “keadilan bersama” ini disinggung oleh kaidah berikut ini:
لاضرر ولاضرار
Artinya, “Tidak rugi, juga tidak merugikan.”
Sementara itu, dalam teks syariah juga disebutkan bahwa setiap kerugian (dharar) yang ditimbulkan oleh suatu pihak harus mendapatkan penanganan berupa pertanggungan risiko/ganti rugi (dhaman). Kedua kaidah yang menyatakan keadilan bersama dan wajibnya ganti rugi ini adalah hadits. Oleh karena itu, keduanya dapat disebut juga sebagai “kaidah dasar”. Inilah maksud dari “verifikasi” data itu yaitu menuju titik keadilan bersama dan pertanggungjawaban terhadap setiap ekses kerugian.
Dalam “verifikasi” dibutuhkan “bayyinah”, yaitu “upaya pembuktian” dan “penyingkapan” data. Dalam teks syari’ah, langkah untuk menuju al-bayyinah ini diperlukan beberapa perangkat. Perangkat itu terdiri dari “kesaksian” (as-syahadah) dan “barang bukti” (kitab).
Secara umum perintah penegakan bayyinah (verifikasi data) ini disinggung dalam sebuah hadits dengan sanad Ibnu Abbas RA, yakni seorang mufassir yang mendapat doa dari Rasulullah SAW secara langsung, yaitu:
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال لو يعطى الناس بدعواهم، لادعى رجالٌ أموال قومٍ ودماءهم، لكن البينة على المدَّعِي، واليمين على من أنكر حديث حسنٌ، (رواه البيهقي وغيره هكذا، وبعضه في الصحيحين
Artinya, “Sesungguhnya, Rasulullah SAW telah bersabda ‘Andai manusia dibiarkan dengan kebebasan mendakwanya, maka pasti akan ada pihak yang mendakwa hak atas harta dan darah (kehormatan) orang lain. Namun, (tidak dengan ketetapan syariat), bagi orang yang mendakwa wajib menghadirkan ‘bayyinah,’ sementara bagi ‘pihak yang mengingkari’ (terdakwa) wajib berlaku atasnya sumpah.’” Hadits Hasan, riwayat Al-Baihaqy dengan kawan-kawan dan sebagiannya termaktub dalam dua kitab shahih Bukhari-Muslim).
Dalam Surat Al-Bayyinah ayat 1-3 disebutkan secara implisit bahwa “al-Bayyinah” itu terdiri dari “Rasulullah” yang membacakan “Kitab Suci”. Dalam konteks pengadilan sengketa, “Rasul” menempati kedudukan sebagai “saksi.” Sementara “Kitab Suci” menempati kedudukan sebagai “bukti.” Konsepnya adalah bahwa bukti itu harus “benar.” Sementara kebenaran yang diperselisihkan dalam sengketa pengadilan adalah “kebenaran yang bersifat relatif”. “Benar” menurut pendakwa, belum tentu “benar” menurut terdakwa. Itulah sebabnya, perlu upaya “pendekatan” (verifikasi data) untuk menuju tercapainya kebenaran yang diharapkan. Langkah itu dijelaskan dalam Firman Allah Surat Al-Baqarah ayat 282.
Di dalam Surat Al-Baqarah ayat 282, Allah SWT menyinggung tentang perangkat antisipasi kerugian (dharar) akibat praktik utang-piutang berbasis waktu (jual beli kredit/jual beli tempo). Suatu barang yang dibeli dengan harga kes, namun dibayar tunda, di satu sisi melahirkan kerugian bagi penjualnya. Itulah kemudian disyariatkan kebolehan jual beli kredit/tempo karena adanya kemungkinan penurunan nilai/harga.
Agar jual beli kredit ini tidak merugikan salah satu pihak, maka diperintahkan agar mencatat transaksi. Risiko adanya catatan transaksi adalah adanya pihak katib, yaitu profesi sekretaris atau bendahara transaksi (profesi akuntan). Kedua profesi ini secara tidak langsung bisa menjadi “saksi” bila terjadi “sengketa.” Adapun “catatannya” dapat berlaku sebagai “bukti perkara”. Lebih jelasnya disampaikan dalam ayat tersebut sebagai berikut:
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِن رِّجَالِكُمْ فَإِن لَّمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَن تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا ۚ وَلَا تَسْأَمُوا أَن تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَىٰ أَجَلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِندَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَىٰ أَلَّا تَرْتَابُوا ۖ
Artinya, “Dan mintalah kesaksian dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi) dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara orang-orang yang kamu rela dari para saksi (yang ada), agar jika yang ada seorang yang melenceng (an tadhilla), maka yang seorang lagi dapat mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu menolak apabila dipanggil. Janganlah kamu bosan menuliskannya untuk batas waktunya baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu, “lebih adil” di sisi Allah, “lebih dapat menguatkan” kesaksian, dan “lebih mendekatkan” kamu kepada ketidakraguan.” (Surat Al-Baqarah ayat 282).
Diksi “lebih adil”, “lebih dapat menguatkan,” dan “lebih mendekatkan” sebagaimana disinggung ayat menyisakan pada makna lazimnya sifat keterukuran kerugian (dharar) maupun darurat. Nah, para ilmuwan umumnya terbelah dalam konteks pengukuran ini. Di satu sisi, ulama menimbangnya berdasarkan hierarki ilmu kalam sehingga kemudian lahir hukum taklifi, sementara di sisi yang lain, ulama menimbangnya menurut konteks hukum positif duniawi yang dinuansakan oleh hukum sebab-akibat (hukum wadh’i). Hasilnya, rugi menurut hukum taklifi, belum tentu rugi menurut hukum wadh’i. Demikian pula sebaliknya, kerugian menurut hukum wadh’i, belum tentu rugi menurut hukum taklifi.
Di sini ilmuwan kadang ditemukan berpegangan sebagaimana disinggung oleh sebuah bait syair pujian berikut: “Rugi dunyo ora dadi opo, rugi akhirat bakal disikso” (rugi dunia tiada mengapa, rugi akhirat akan disiksa). Sebenarnya syair ini isinya benar. Namun, jika dirasa-rasakan, ada nuansa keberpihakan penciptanya terhadap hukum taklifi, dan tidak pada hukum wadh‘i. Mari kita ambil perumpamaan yang lain!
إنما البيع مثل الربا
Artinya, “Sungguh, jual beli adalah menyerupai riba,” (Surat Al-Baqarah ayat 275).
Riba dalam konteks masyarakat jahiliyah terjadi karena adanya kasus penundaan utang dari waktu jatuh temponya sehingga pihak murbin (rentenir) melipatgandakan harganya menjadi dua kali lipat. Riba ini kemudian dikenal dengan istilah ribal buyu’ (riba jual beli). Para ulama juga menengarainya sebagai riba nasiah (riba kredit). Basis akadnya adalah akad qardhu (utang-piutang) barang.
Saat dikatakan kepada mereka, mengapa tidak melalui jual beli kredit saja sehingga tidak perlu sampai melipatgandakan harga aktual manakala terjadi penundaan pelunasan? Mereka menjawab, “Ah sama saja. Jual beli dan riba adalah sama-sama menginginkan tambahan dari harga jual barang. Kalau dalam jual beli, tambahan itu disebut keuntungan. Jika dalam riba, tambahan itu adalah konsekuensi penundaan.”
Inti dari dialektika ini, pada pokoknya adalah berfokus pada aspek ziyadah (tambahan). Standar kalibrasi kedua pihak adalah berbeda. Standar kalibrasi mukallaf adalah jual beli karena perintah nash (taklif/khithabus syar’i) memang menghalalkan keuntungan dari jual beli itu. Sementara, standar kalibrasi pada pihak nonmukallaf bukan pada jual beli, melainkan pada faktor penundaan sehingga hal itu berujung pada kerugian modal terkumpul dari mereka lantaran tidak bisa diputar kembali.
Jadi, faktor yang memperantarainya adalah bersifat sebab-akibat. Konsepsi sebab-akibat ini merupakan landasan dari hukum wadh’i itu. Yang hendak dicari oleh keduanya adalah “keadilan bersama,” yang itu berarti ketiadaan sifat aniaya, dan eksploitatif. Keadilan bersama ini merupakan hikmah yang membutuhkan tolok ukur “kadar”.
Nah, di sinilah keterbelahan ulama itu terjadi. Ada ulama yang dengan tegas menyatakan bahwa karena nash secara tegas menyatakan bahwa tambahan halal hanya boleh dilakukan melalui praktik jual beli, maka berapa pun nilai tambahan atas harga pokok, hukumnya adalah riba, dan haram. Kelompok ini yang kemudian penulis sebut sebagai berpihak pada hukum taklifi. Ulama lain menyatakan harus diukur dulu “kadar” tambahan yang dimaksud karena bagaimanapun mereka non-mukallaf tidak terkena khithab (perintah) dan melakukan relasi muamalah dengannya adalah diperbolehkan.
Ulama ini mencoba berdiri di antara dua kubu yang berseberangan. Namun, mereka mengambil simpulan, bahwa karena tambahan yang tidak dipungut dari praktik jual beli, hukumnya memang adalah haram. Sementara ukuran yang mampu menjadi penengah bagi kedua praktik itu adalah menempati posisi darurat. Dalam posisi darurat, hukum bermuamalah dengan nonmukallaf adalah boleh (ibahah) sebab adanya illat kedaruratannya yang tidak mungkin dihindari (ammatul balwa). Jalan tengah hukum kemudian diputuskan bahwa kedudukan antara haram dan ibahah sebab dharurat, adalah syubhat.
Pihak ketiga, ulama ini langsung secara tegas menyatakan hukum kebolehan melakukan interaksi dengan nonmukallaf disebabkan hikmah keterukuran dan keadilan pasar dijadikan sebagai illat hukum. Proses penentuan ‘illat semacam ini disebut dengan istilah at-ta’lilu bil hikmah, yaitu proses penetapan hukum melalui jalan meneliti batas-batas hikmah. Pihak ini yang kemudian disebut oleh penulis sebagai yang berpihak terhadap hukum wadh’i.
Nah, permasalahannya kemudian ta’lilun bil hikmah ini memang belum pernah ditemukan dalam penggalian hukum Islam karena hukum senantiasa berlaku sesuai adanya ‘illat yang mu’tabar. Sementara illat dengan hikmah belum pernah dikenalkan oleh para ulama terdahulu. Karena tidak ada di ulama dulu, mungkin lebih pasnya bagi kelompok ini dikelompokkan sebagai tahsinul manath, yang sudah barang tentu juga belum tercakup sebelumnya dalam kerangka penggalian maslahah. Wallahu a’lam bis shawab.
Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah–Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur.
Belum ada Komentar untuk "Jalan Tengah dalam Perkembangan Fiqih Muamalah"
Posting Komentar