Mengenal Prisip dan Manfaat Asuransi dalam Islam


Kehidupan tak selalu mulus. Usia tak selalu muda. Badan tak selalu sehat dan kuat bekerja. Sudah berhati-hati di jalan, e... kecelakaan juga. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Demikianlah sebuah pepatah bilang, menggambarkan liku-liku kehidupan seorang insan yang mungkin akan dihadapinya kelak. Semua itu membutuhkan penyikapan.

Manusia diciptakan dalam kondisi lemah. Karena kelemahannya itu, maka ia dianjurkan agar senantiasa memperhatikan hari esok. Ia harus mengantisipasi perjalanan usianya. Ia tidak selalu muda, dan selalu kuat bekerja. Demikian juga ia tidak selalu sehat, adakalanya dia harus menghadapi sakit. Jika sakitnya masih di usia muda, ada harapan untuk pulih kembali secara normal dan kembali berkarya. Namun tidak jarang pula, ia tidak dapat pulih. Bagi yang tidak mampu mengantisipasi dan menghargai waktu, dia kelak akan menyesal dan merugi. Isi hidupnya akan dipenuhi dengan rasa frustasi. Itulah sebabnya, Allah subhanahu wata‘ala mengingatkan dalam QS. Al-‘Ashr: 1-4:

وَالْعَصْر إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ


Artinya: “Demi masa. Sesungguhnya manusia ada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, saling berwasiat dalam perkara haq dan kesabaran.” (QS. Al-Ashr: 1-3)

Tahapan hidup manusia itu pada dasarnya ada empat, yaitu: (1) tahap anak-anak, (2) tahap remaja, (3) tahap berkeluarga, dan (4) tahap usia tua. Dari empat periode hidup ini, tahap yang paling produktif adalah tahap remaja dan tahap berkeluarga. Tahap ini ada pada kisaran usia 15 tahun sampai dengan usia 50 tahun. Masing-masing individu berbeda dalam siklus hidupnya. Adakalanya usia produktif itu baru terjadi pada kisaran usia 21 tahun, sementara akhir dari usia produktifnya 50 tahun. Ada pula, individu yang sampai usia 60 tahun, terbukti masih produktif. Adanya perbedaan pada usia produktif ini membutuhkan kearifan dalam menyikapi. Jangan sampai terlambat dalam menyikapinya, karena penyesalan itu selalu ada di akhir kemudian. Allah subhanahu wata‘ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ


Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah, dan hendaknya setiap jiwa mengantisipasi apa yang akan terjadi besok. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Dzat Yang Maha Pemberi Kabar terhadap apa yang kalian lakukan.” (QS. Al-Hasyr: 18)

Ayat ini secara tegas menyarankan agar tiap-tiap individu (tanpa kecuali) agar memperhatikan kehidupan hari esoknya. Jangan hanya berburu kesenangan sesaat, akan tetapi senantiasa waspadalah terhadap kemungkinan yang tak terduga. Pada saat itu kita membutuhkan: (1) pertolongan orang lain, (2) membutuhkan biaya pengobatan, (3) membutuhkan biaya menyekolahkan dan memondokkan putra-putri, dan lain-lain. Masih banyak yang tidak bisa disebutkan.

Sudah barang tentu, untuk mendapatkan pertolongan terhadap orang lain, kita butuh sikap sosial yang baik. Kita perlu menjalin silaturahim dengan sesama. Bersedekah kepada orang yang lemah. Bersedekah kepada orang yang membutuhkan. Menunaikan kewajiban zakat juga merupakan bagian dari realitas ibadah membina relasi sosial terhadap sesama. Namun, yang lebih mengena, biasanya adalah sedekah, infaq, uluran tangan, bantu membantu, ini merupakan senjata yang paling ampuh guna mewujudkan ibadah berupa membina kerukunan sosial itu. Sebagaimana hal ini diriwayatkan dalam sebuah hadits:


عنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ قَالَ : كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَأَصْبَحَتْ يَوْمًا قَرِيبًا مِنْهُ وَنَحْنُ نَسِيرُ ، فَقَالَ : أَلا أَدُلُّكَ عَلَى أَبْوَابِ الْخَيْرِ؟ الصَّوْمُ جُنَّةٌ ، وَالصَّدَقَةُ تُطْفِئُ الْخَطِيئَةَ كَمَا يُطْفِئُ الْمَاءُ النَّارَ ، وَصَلاةُ الرَّجُلِ فِي جَوْفِ اللَّيْلِ


Artinya: “Dari Mu’adz Ibn Jabal, ia berkata: Suatu ketika aku bersama Nabi SAW dalam sebuah perjalanan. Dan suatu hari aku berjalan berada sangat dekat dengan Rasulullah, lalu beliau bersabda: “Mahukah kamu aku tunjukkan pintu-pintu kebaikan? Puasa ibarat tameng, sedekah dapat melebur kesalahan sebagaimana air dapat memadamkan bara, dan sholatnya seorang laki-laki tatkala tengah malam.” (Ibn Rajab al-Hanbaly, Syurûh al-Hadîts Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hukm, Beirut: Muassisah al-Risâlah, 2001: 134)

Di dalam naskah hadits di atas, Rasulullah menyampaikan bahwa sedekah dapat memadamkan bara api akibat kesalahan. Sebagai seorang insan, kita tidak luput dari kesalahan, bukan? Leburlah kesalahan itu dengan sedekah, insyaallah keridhaan akan senantiasa mengiringi langkah kita dari orang yang tidak sengaja menerima imbas akibat kesalahan kita itu.

Lebih dari itu, bagaimana apabila sedekah ini disistemkan? Di dalam QS. Al-Mâidah: 2, Allah SWT memerintahkan:

وتعاونوا على البر والتقوى ولا تعاونوا على الإثم والعدوان واتقوا الله إن الله شديد العقاب


Artinya: “Dan saling tolong-menolonglah kalian dalam perbuatan baik dan ketakwaan, dan janganlah kalian saling tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Takutlah kalian kepada Allah! Sesungguhnya Allah Dzat Yang Maha Pedih siksa-Nya.” (QS. Al-Mâidah: 2)

Ayat ini mengandung makna perintah agar saling tolong-menolong dalam perbuatan baik dan taqwa. Ada sebuah fakta di masyarakat, bahwa tolong-menolong adalah bagian dari tradisi masyarakat kita. Misalnya, ada orang yang sedang menikahkan anaknya, dan ia tidak punya harta untuk melakukan resepsinya. Kadang para tetangga tidak segan datang ke rumah orang yang bersangkutan dengan membawa uang 10 ribu sampai dengan 20 ribu guna meringankan kebutuhan shahibu al-hajat. Ada tetangga meninggal, tak segan dan tanpa diminta, para tetangga datang dengan membawa beras untuk keperluan ta’ziyah dan meringankan beban dari tuan rumah yang tengah dirundung duka. Semua ini adalah gambaran tolong-menolong. Alangkah sangat bagusnya bila hal ini dikembangkan dalam ranah yang lain. Misalnya apabila ada tetangga yang sakit, kita bantu dengan memberikan uluran bantuan biaya pengobatan. Apabila hal ini dijadikan sebagai sebuah kegiatan rutin iuran bulanan sesama warga masyarakat, dengan niat kelak apabila ada warga yang dilanda sakit, maka akan diambilkan dari kas yang terkumpul untuk membantu meringankan biaya pengobatannya, betapa sangat mulia sekali perilaku seperti ini. Ini adalah sebuah gambaran upaya membina kerukunan di tengah warga melalui prinsip tolong-menolong. Tentu saja dalam hal ini sangat membantu sekali terhadap tugas perangkat desa dalam menjaga kerukunan di antara warganya. Indah sekali, bukan?

Demikianlah kiranya gambaran asuransi secara sederhana. Ada upaya untuk saling menanggung beban derita di antara sesama pesertanya. Sudah barang pasti, tidak sesederhana apa yang dicontohkan di atas, karena contoh di atas adalah berangkat dari sebuah upaya mensistemkan sedekah yang diperuntukkan untuk tolong-menolong saja. Dalam asuransi ada gambaran sistem yang lebih kompleks, yang kelak kita akan bahas dan kupas satu per satu. Insyaallah.

Ilustrasi Lembaga Asuransi Sederhana

Di desa Sumber Makmur, Pak Kepala Desa mengadakan iuran rutin bersama warganya. Hasil dari iuran yang terkumpul, dicatat dan dilaporkan setiap tahunnya oleh petugas yang diserahi untuk mengumpulkan. Sudah pasti, ada gaji sebagai pengganti uang lelah bagi petugas tersebut yang diambil dari kas yang terkumpul setiap bulan. Dari hasil musyawarah desa, ditetapkan bahwa gaji petugas pengumpul adalah 500 ribu rupiah. Maklum, perangkat desa bukan seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ia hanya rakyat biasa yang dipercaya untuk mengurusi warganya. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk membantu warga yang menjadi peserta iuran rutin ketika ia dilanda sakit.

Sejak awal didirikan, Pak Kepala Desa selaku pembina dari perkumpulan tersebut sudah memberitahukan bahwa:

Pertama, dana tersebut digunakan hanya untuk menolong warga peserta perkumpulan yang tengah kesulitan dalam pengobatan akibat sakit keras, seperti karena kecelakaan atau operasi. Sudah barang tentu dalam hal ini, jika sakitnya hanya sekedar sakit ringan (misal sakit kepala), maka claim yang diberikan warga tidak akan diterima. Jadi, ada syarat ketentuan jenis sakitnya.

Kedua, agar dana yang terkumpul tetap aman, maka dana tersebut sebagian didepositokan atau ditabungkan ke sebuah bank.

Ketiga, untuk mengantisipasi bilamana terjadi hal yang sekira mendadak membutuhkan pengambilan dana, maka sebagian dari dana yang terkumpul, dibelikan emas dan dititipkan ke pegadaian. Semua ketentuan ini disampaikan dalam forum musyawarah desa dan disetujui oleh masyarakat.

Untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman dalam pengajuan klaim, maka diatur syarat-syarat pengajuan, misalnya:
  1. Warga yang mengajukan klaim biaya pengobatan karena sakit keras, harus menyertakan surat atau resep dokter ke bendahara dan diketahui oleh kepala desa
  2. Klaim boleh diajukan selama yang bersangkutan (pihak yang sakit) masih berada di rumah sakit, dan diwakili oleh keluarganya.
  3. Besar biaya yang bisa diberikan diatur dan disepakati secara bersama-sama dalam forum musyawarah desa. Misalnya, untuk warga yang sakit karena operasi, maka diberikan santunan sebesar 2 juta rupiah. Untuk warga yang mengalami kecelakaan sehingga mengalami cacat, maka diberi santunan sebesar 5 juta. Untuk warga yang mengalami kecelakaan dan besar kemungkinan bisa kembali normal, maka diberi santunan 2 juta.
Semua contoh di atas merupakan contoh praktis dari proses asuransi sederhana. Berdasar contoh di atas, ada unsur ta’awun (saling tolong-menolong), dan ada juga unsur kafâlah (pengambil alihan tanggung jawab korban atas biaya pengobatan oleh petugas yang diwakili oleh Kepala Desa). Sederhana, bukan?

Karena di dalam asuransi ada kafâlah, maka lembaga asuransi sering disebut juga sebagai takâful. Prinsip takâful syarî’ah adalah ta’âwun (saling tolong-menolong). Dengan begitu, tidak boleh ada harapan bagi peserta untuk menarik kembali dana yang sudah diserahkan. Dana yang diserahkan ke petugas penarik selama satu bulan sekali, dalam istilah asuransi modern, dikenal sebagai premi. Umumnya besarnya premi ini ditentukan oleh pihak lembaga asuransi. Misalnya, premi ditarik sebesar 70 ribu sebulan. Untuk kasus asuransi sederhana di desa, sudah barang tentu tidak sebesar ini. Tentu pihak Kepala Desa menentukannya atas dasar kemampuan ekonomi masyarakat yang dipimpinnya. Namun untuk lembaga asuransi modern, premi ini biasanya ditetapkan agak sedikit lebih tinggi.

Setiap premi yang dibayarkan kepada petugas, selalu dicatat dalam sebuah dokumen. Dokumen ini disebut dengan istilah polis asuransi. Kalau tingkatan desa, mungkin setara dengan kwitansi. Dari premi yang terkumpul inilah, akad kafâlah bisa dilakukan oleh Pak Kepala Desa terhadap korban yang memiliki kewajiban membayar biaya pengobatan sesuai dengan yang sudah disepakati.

Ada kalanya, besaran biaya premi itu ditentukan berdasarkan besar kecilnya risiko yang dimiliki oleh seseorang. Pak Raden sering berada di perjalanan, sudah pasti dia lebih besar risikonya untuk mengalami kecelakaan dibanding Pak Ogah yang setiap harinya berada di sawah. Karena risiko Pak Raden lebih besar dibanding Pak Ogah, maka Pak Raden bisa dipungut biaya premi bulanan lebih tinggi dibanding Pak Ogah. Ini adalah bagian dari prinsip keadilan. Untuk itu, petugas harus pandai-pandai dalam melakukan stratifikasi dan mengenali risiko pihak yang menjadi peserta. Stratifikasi premi ini bisa dikelompokkan berdasar kelas masyarakat. Misalnya seperti ini:
  • Masyarakat Kelas Karyawan/Pegawai: Sering berada di jalan dan memakai kendaraan
  • Masyarakat Kelas Pedagang: Sering di jalan, namun tidak sesering kelas karyawan/pegawai
  • Masyarakat Petani: Tidak sering di jalan
Berdasarkan tingkat keseringan ini, besaran premi bisa dipungut dengan besaran yang berbeda antara kelas satu dengan kelas lainnya.

Terkadang premi kesehatan juga ditetapkan berdasarkan risiko yang sering muncul. Orang dengan kebiasaan merokok akan lebih rentan terserang penyakit jantung dibanding orang yang tidak merokok. Untuk itu, premi perokok lebih tinggi dibanding premi bukan perokok. Orang yang sering panjat tebing, atau berolahraga tinju dan bela diri, akan lebih rentan melakukan operasi dibanding orang yang kerja hariannya ada di kantor. Itulah sebabnya, premi masing-masing pihak ini senantiasa ditetapkan dan dipungut berbeda dibanding peserta lainnya. Model pemungutan demikian ini sudah diterapkan sejak lama oleh lembaga asuransi modern.

Demikianlah umumnya premi dipungut untuk setiap produk asuransi. Bahkan asuransi rumah, kendaraan, seluruhnya menggunakan prinsip yang sama, yaitu berbasis risiko. Semakin besar risiko yang mungkin terjadi, semakin besar pula biaya premi asuransi yang dibayarkan oleh peserta yang mengambil program tersebut. Bagaimana kiranya dengan asuransi jiwa? Asuransi Pendidikan? Apakah juga mengikut prinsip yang sama?

 الخراج بالضمان


Artinya: “Pengeluaran berbanding lurus dengan tanggung jawab risiko.”

Wallâhu a’lam bish shawâb.

Ustadz Muhammad Syamsudin, Pengasuh PP Hasan Jufri Putri P. Bawean dan Wakil Sekretaris Bidang Maudlu’iyah LBMNU PWNU Jawa Timur

Belum ada Komentar untuk "Mengenal Prisip dan Manfaat Asuransi dalam Islam"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel