Ketentuan Lahan Garapan dalam Akad Muzara’ah
Rabu, 22 April 2020
Tulis Komentar
Para ulama’ melakukan ijtihad terhadap batasan luas batas lahan yang boleh dipergunakan untuk menanam tanaman yang diambil dengan akad muzara’ah. Pasalnya, ada ketentuan bahwa tanaman yang ditanam dengan akad muzara’ah harus mengikuti aturan tumpangsari dengan tanaman utamanya.
Ijtihad ulama didasarkan pada pertimbangan sejauh mana ada kemungkinan tanaman muzara’ah itu berpotensi mengganggu tanaman utama. Pasalnya, tindakan petani penggarap yang merugikan tanaman utama menjadikannya wajib dhaman (menanggung risiko ganti rugi). Sebaliknya, syarat yang diajukan oleh rabbul mal (pemilik lahan tanaman utama) yang berpotensi merugikan petani penggarap juga menyisakan kewajiban harus dhaman.
Dengan memperhatikan sisi potensi kerugian (dharar) ini, para ulama berbeda pendapat terkait dengan batas maksimal area lahan yang boleh digunakan. Imam Malik RA menegaskan sebagaimana dikutip oleh Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, juz II, halaman 276:
إِذَا كَانَتِ الأَْرْضُ تَبَعًا لِلثَّمَرِ، وَكَانَ الثَّمَرُ أَكْثَرَ ذَلِكَ، فَلاَ بَأْسَ بِدُخُولِهَا فِي الْمُسَاقَاةِ، اشْتَرَطَ جُزْءًا خَارِجًا مِنْهَا أَوْ لَمْ يَشْتَرِطْهُ، وَحَدَّ ذَلِكَ الْجُزْءَ بِأَنْ يَكُونَ الثُّلُثَ فَمَا دُونَهُ، أَعْنِي أَنْ يَكُونَ مِقْدَارُ كِرَاءِ الأَْرْضِ الثُّلُثَ مِنَ الثَّمَرِ فَمَا دُونَهُ، وَلَمْ يَجُزْ أَنْ يَشْتَرِطَ رَبُّ الأَْرْضِ أَنْ يَزْرَعَ الْبَيَاضَ لِنَفْسِهِ، لأَِنَّهَا زِيَادَةٌ ازْدَادَهَا عَلَيْهِ
Artinya, “Jika lahan muzara’ah bersifat mengikut terhadap tanaman utama (as-tsimar), dan kondisi area tanaman utama lebih luas dibanding lahan muzara’ahnya, maka tidak apa-apa mengintroduksikan tanaman substitusi itu di area musaqah, baik disyaratkan oleh pemilik lahan maupun tidak. Batas maksimal dari luas lahan muzara’ah adalah ⅓ dari seluruh area tanaman musaqah, atau lebih sedikit dari itu. Jadi, nilai taksiran lahan itu adalah ⅓ dari sisa lahan tanaman utama (as-tsimar) atau lebih sempit. Pemilik lahan tidak boleh menetapkan syarat bahwa lahan yang belum ada tanamannya harus ditanami oleh dirinya sendiri. Alasannya, karena tanaman muzara’ah merupakan tanaman substitut yang berfungsi menambah penghasilan petani penggarap akad musaqah,” (Ibnu Ruysd, Bidayatul Mujtahid, juz II, halaman 276).
Jadi, batas maksimal area lahan muzara’ah menurut Imam Malik adalah ⅓ dari total lahan yang ada. Tidak boleh melebihi kadar taksiran ini. Melebihi kadar ⅓ dapat dipandang merugikan terhadap tanaman utama. Mengapa? Sebagaimana kita tahu bahwa, dalam Mazhab Maliki, obyek tanaman pada akad musaqah adalah jenis tanaman buah atau yang semakna dengan buah, dan mudah mati bila tidak dirawat dengan benar, seperti bunga mawar dan bunga melati.
Kedua bunga itu adalah contoh mu’tabar jenis tanaman yang dapat diambil akad musaqahnya. Sebagaimana diketahui, bahwa keduanya pula membutuhkan perawatan ekstra agar dapat hidup secara berkelanjutan dan berproduksi. Jadi, jika ia ditumpangsarikan bersama-sama dengan tanaman jenis lain yang dapat mengganggu pertumbuhannya karena jarak antartanamannya, maka tindakan demikian ini jelas merugikan kedua tanaman musaqah tersebut. Itulah sebabnya, Imam Malik menyatakan batas maksimal area akad muzara'ah ⅓ luas lahan. Lebih dari itu, potensi besar merugikan tanaman utama semakin besar.
Hal yang sama juga berlaku untuk madzhab Hanafi. Mazhab ini membolehkan mentimun atau semangka sebagai tanaman utama. Pola penanaman semangka (al-bathikh) pelesehan tanaman tersebut di atas tanah. Sekarang bayangkan, bila di samping tanaman semangka itu ada tanaman lain yang merubungnya? Sudah pasti pertumbuhan semangka ini akan berlangsung tidak normal dan produksinya menjadi rendah.
Rendahnya produksi akibat muzara’ah menandakan adanya tindakan merugikan yang dilakukan oleh petani penggarap. Tindakan ini bisa berbuntut pada rusaknya akad musaqah dan berhak dibatalkan oleh pemilik tanaman utama.
Lain halnya bila tanaman itu sekelas tanaman jenis pohon, sebagaimana dalam Mazhab Syafii. Qaul jadid Imam Syafii menyatakan bahwa obyek musaqah adalah anggur kuning (karam) dan kurma. Anggur kuning dirawat dengan membuat sebuah anjang-anjang (thabaq). Dengan anjang-anjang ini, posisi daun dan bunga anggur tidak akan tertutupi oleh keberadaan tanaman lain yang ditumpangsarikan pengelolaannya. Bahkan, dengan melihat naungan lebatnya daun anggur yang bisa menutupi sebagian besar area tanaman, hampir dapat dipastikan bahwa tanaman jenis apapun yang ada di bawahnya tidak akan tumbuh sempurna karena kurang mendapat pencahayaan matahari.
Demikian halnya dengan tanaman kurma yang bahkan berbentuk pohon. Sudah pasti, tanaman di bawahnya tidak akan banyak berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangannya. Berangkat dari sini kemudian, cukup beralasan bila kemudian Imam Syafii menyatakan bahwa tidak ada batas maksimal untuk luas lahan pada akad muzara’ah. Bahkan seandainya lebih dari separuh luas area lahan yang ada asal tidak merugikan tanaman utama, maka hukumnya lahan boleh ditanami dengan akad muzara’ah.
وَأَجَازَهَا الشَّافِعِيَّةُ فِي الأَْرْضِ الَّتِي تَكُونُ بَيْنَ النَّخِيل أَوِ الْعِنَبِ إِذَا كَانَ بَيَاضُ الأَْرْضِ أَقَل، فَإِنْ كَانَ أَكْثَرَ فَالأَْصَحُّ جَوَازُهَا أَيْضًا، وَقِيل: لاَ تَجُوزُ، وَلَكِنَّهُمْ مَنَعُوهَا مُطْلَقًا فِي الأَْرْضِ الْبَيْضَاءِ
Artinya, “Kalangan Syafiiyah membolehkan akad muzara’ah pada sela area tanaman kurma dan anggur, khususnya dengan luas area kosongnya yang lebih sedikit (dibanding luas area tanaman utamanya). Adapun bila lebih luas area tanaman muzara’ah lebih luas dari area tanaman utama, maka pendapat yang paling shahih menyatakan kebolehannya. Dengan demikian ada pendapat lain yang shahih juga, hukumnya tidak boleh. Apalagi di area yang benar-benar masih kosong, para ulama menghukuminya larangan penggarapan secara mutlak.” (Nihayatul Muhtaj, juz II, halaman 276).
Dalam hemat penulis, perbedaan pandangan di kalangan Syafiiyah ini besar kemungkinan mempertimbangkan aspek adanya kemungkinan muzaraah merugikan atau tidak terhadap tanaman utama (musaqah). Apalagi, Imam Syafii dalam qaul qadimnya menyatakan bahwa tidak hanya kurma dan anggur kuning yang dapat diambil akad musaqah, melainkan juga jenis tanaman produksi lainnya, seperti semangka. Dengan demikian, kelompok pendapat kedua dari Syafiiyah ini lebih kurangnya menyerupai dasar pertimbangan pendapat Imam Abu Hanifah yang juga membolehkan tanaman semangka dalam qaulnya sebagai tanaman utama. Wallahu a’lam bis shawab.
Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa TImur
Belum ada Komentar untuk "Ketentuan Lahan Garapan dalam Akad Muzara’ah"
Posting Komentar